Monday, April 11, 2011

Warung Tanpa Nama, Warung Tanpa Ikan

Warung ikan bakar tanpa ikan. Sang pemilik warung hanya menawarkan jasa keahlian membakar. Para pelanggan datang membawa ikan masing-masing dan bila memutuskan menyantap ikan di warung sederhana itu, maka sang pemilik warung menyiapkan semangkuk sayur kol dan kacang panjang serta sepiring sambal kacang, sebagai pelengkap. Warung seperti ini lazim ditemukan di sekitar pelelangan ikan di Paotere, Makassar. Warung milik Haji Djabir adalah salah satunya. Citizen reporter Nilam Indahsari membagi pengalamannya bersantap siang di warung ini.


Di suatu hari di pertengahan bulan Juni, saya memutuskan makan siang di kawasan pelelangan ikan Paotere. Saya membeli seekor ikan kakap seharga dua belas ribu lima ratus rupiah di pelelangan itu. Seperti biasanya, suasana pelalangan riuh rendah oleh transaksi jual beli para nelayan dan pembeli.


Tak sabar ingin menikmati ikan yang kata nelayan masih segar baru ditangkap pagi itu, saya lalu bergegas menuju ke warung Haji Djabir.


Ini pertama kalinya saya mencoba makan di warung ikan bakar tanpa ikan bakar. Agak kikuk juga rasanya menenteng tas plastik berisi ikan sambil berjalan ke warung. Menurut orang-orang yang di sekitar pelelangan ikan, makan siang dengan cara seperti ini adalah lazim. Bila ingin menyantap ikan, jangan langsung ke warung, tapi mampir dulu membeli sendiri ikannya.

Lantas, mengapa pemilik warung tidak ingin repot menyiapkan ikan sendiri?

Menurut penuturan Haji Djabir, warung semacam ini hadir melayani para penangkap ikan sendiri yang membawa sisa hasil tangkapannya yang tidak terjual di pelelangan, dan juga pelanggan lain yang ingin mencicipi ikan segar. Sebelum pulang ke rumah, para nelayan mampir dulu ke sini untuk membakar ikannya. Sedangkan pengunjung biasa banyak yang tertarik untuk memilih sendiri ikan segar di pelelangan dan meniru gaya para nelayan yang menitip ikannya untuk dibakar.

Haji Djabir adalah pemilik salah satu warung yang berjejer di sekitar Paotere. Rumah makan miliknya itu berada tepat di depan pos keamanan pelelangan ikan yang berlokasi di Jalan Sabutung I, Makassar. Lelaki yang ramah itu melewati masa kanak-kanak, remaja, dan dewasanya di Paotere selama 40 tahun terakhir. Namun, katanya, baru enam tahun belakangan ini ia memutuskan membuka warung.

Bangunan tempat warung tanpa nama itu bertingkat dua. Teras dan lantai satu yang dijadikan warung. Sementara Haji Djabir sekeluarga tinggal di lantai dua.

Di teras sebelah kiri ia menggelar meja yang digunakan sebagai tempat membersihkan dan memotong ikan. Di atas meja itu terdapat dua ember kecil dan jerigen yang telah dibelah, berisi air untuk mencuci ikan. Tak jauh dari meja itu terdapat pembakaran dari besi dilengkapi penjepit dari bambu, kipas anyaman, kipas angin, dan wadah minyak kelapa berupa satu kaleng bekas yang telah hitam. Penuh jelaga yang berasal dari asap pembakaran. Dengan bantuan kuas, minyak kelapa itu dioleskan ke tubuh ikan agar kulitnya tak lengket pada besi pembakaran.

Ruangan lantai satu yang berukuran sekitar 7x3 meter digunakan sebagai tempat makan pelanggan dan dapur. Ada dua lukisan yang tergantung di dinding. Satu bergambar sebuah rumah yang berada di daerah pegunungan dan satu lagi lukisan beberapa ekor kuda yang berlari di tengah sungai. Ada tiga kipas angin yang senantiasa siap dinyalakan untuk menghalau gerah. Juga tujuh meja makan serta 26 kursi plastik yang siap menampung pengunjung setiap hari.

Ketika saya menyambangi rumah makannya, Haji Djabir sedang membakar beberapa ekor ikan pesanan orang. Lelaki itu tampak bersemangat sekali. “Wah hari ini mati lampu, makanya saya harus mengipasi sendiri pembakaran!” Ia terlihat lincah menganyunkan kipas anyamannya, menjaga agar nyala bara api tetap menyala dengan merata.

"Orang-orang yang membawa ikan yang mereka beli di pelelangan ke sini. Kami tinggal membakarnya," katanya.

Jika pengunjung hanya menitip ikan atau lauk laut lainnya untuk dibakar lalu dibawa pulang, maka Haji Djabir akan mengenakan ongkos kerja setidaknya seribu hingga dua ribu rupiah per ekor, tergantung ukuran ikan yang dititip.

Namun, jika ikan yang telah dibakar itu disantap di warung ini, maka pengunjung hanya perlu membayar menu berupa nasi dan sayur santan berisi kol dan kacang panjang serta sambal kacang dicampur irisan tomat, cabe segar, dan daun kemangi. Harganya hanya dua ribu rupiah.

Karena harga yang relatif murah itu, tak heran bila ada puluhan orang yang mau datang setiap hari ke warung yang dikelola Haji Djabir ini. Selepas melaut, biasanya nelayan tak menjual semua hasil tangkapannya. Mereka menyisakan beberapa ekor tangkapannya untuk disantap di sini sambil melepas lelah. Bahkan tukang becak yang sering mangkal di sekitar pelelangan itu, kerap mampir karena untuk ukuran mereka pun, menu di warung ini masih terjangkau. Terlebih lagi bila beruntung mendapatkan ikan berharga murah di pelelangan.

Konon, keahlian Haji Djabir membakar ikan memang istimewa. Ikan yang dibakarnya akan terasa empuk dengan kematangan yang merata. Di Makassar, terdapat ratusan warung ikan bakar, dan warung yang ramai dikunjungi biasanya terkenal karena tukang bakar yang ahli dan racikan bumbu yang istimewa. Untuk kawasan sekitar pelalangan Paotere, nama Haji Djabir termasuk yang terkenal di antara nelayan dan penggemar ikan bakar.

Untuk membuktikan kehebatan Haji Djabir, saya segera masuk ke dalam warung, begitu kakap merah saya telah matang. Salah seorang puteri Haji Djabir dengan sigap menyajikan sepiring nasi putih, semangkuk sayur, dan sepiring kecil sambal.

Sambil mendengarkan lantunan lagu pop yang mengalun dari toko kelontong milik Haji Djabir di samping warung, saya menikmati empuknya daging kakap itu. Hmm, rasanya segar dan nikmat.

Apa yang membuat ikan kakap ini terasa begitu empuk dan gurih? Menurut Haji Djabir, ada trik tersendiri agar daging ikan bisa empuk dan terbakar dengan kematangan merata. Sebelum membakarnya, Haji Djabir memukuli tubuh kakap merah itu menggunakan bagian tumpul parangnya. Cara ini dilakukan khususnya pada ikan-ikan berukuran besar. Selain itu, nyala bara di pembakaran harus senantiasa dijaga agar merata, dan lebih khusus lagi ada teknik tertentu saat membolak-balik ikan di atas pembakaran agar terbakar dengan kematangan yang pas.

Di luar, pelelangan ikan masih terlihat ramai. Para nelayan masih terus melelang tangkapannya dengan suara bersahut-sahutan menarik perhatian pembeli. Suara tawar-menawar terdengar saling menimpali. Deru motor dan becak lalu lalang tiada henti di jalan utama di depan warung. Sementara saya duduk nyaman di warung Haji Djabir, menikmati kakap merah segar dari laut. Ada setidaknya sepuluh pelanggan lainnya yang juga tengah menikmati santap siang di warung siang itu.

Suasana di dalam warung terasa gerah, karena listrik yang padam membuat tiga kipas angin yang terpajang, hanya terdiam kaku. Tapi tak apa, siang ini saya berbahagia dengan menu seekor kakap merah yang segar, semangkuk sayur kol dan kacang panjang, yang dilengkapi keramahan pelayanan Haji Djabir di warungnya yang sederhana. (p!)


*Citizen reporter Nilam Indahsari adalah mahasiswi jurusan Hubungan Internasional FISIP Universitas Hasanuddin, Makassar, dapat dihubungi di nilam_indahsari@yahoo.com

Courtesy: Panyingkul!

No comments: