Berapa banyakkah warga Makassar yang pernah menyempatkan diri menengok Museum Kota Makassar? Menurut catatan buku tamu museum, rata-rata hanya lima pengunjung sehari, Sebagian besar anak sekolah, mahasiswa yang sedang melakukan penelitian atau turis asing yang tertarik mengenal sejarah Makassar.Citizen reporter Nilam Indahsari mengunjungi museum itu untuk menelusuri sejarah kota ini. Di sana, ternyata ada sebuah piano tua yang boleh jadi adalah salah satu piano termahal di Makassar, dengan harga yang ditaksir hampir mencapai satu miliar rupiah. (p!)
Sebuah piano berdiri anggun tanpa pianis di sisi kanan ruang utama Museum Kota Makassar. Di sisi bawah penutup tuts piano tersebut tertera merek Steinway & Sons. Di kalangan pianis dunia, merek itu tidak asing lagi karena nada yang terlantun dari tuts-tutsnya terkenal sangat indah.
Nurharlah Dahlan, petugas yang bertanggung jawab terhadap koleksi di museum kota berkisah kepada saya, bahwa dulu sempat ada seorang pengunjung berkebangsaan Belanda ingin membeli piano tersebut. Tawarannya cukup menggiurkan, yaitu sekitar satu miliar rupiah. Katanya, piano tersebut ingin dibawa pulang ke negerinya.
Tak heran jika orang tersebut berani menawar tinggi piano tersebut. Hal itu karena piano tersebut ada kaitan sejarah dengan bangsanya sendiri. Konon, ketika Belanda masih berkedudukan di Makassar, piano yang diproduksi tahun 1926 dengan seri 248277 itu sering mengisi malam-malam dansa para sinyo dan noni Belanda di balai kelab ‘De Harmonie’.
Saya pun coba menelusuri lebih jauh tentang piano tersebut. Di kanal maya, saya menemukan situs resmi perusahaan Steinway. Setelah membaca beberapa spesifikasi dan fitur piano-piano yang diproduksi perusahaan tersebut, saya memprediksi bahwa piano itu sama dengan model Steinway Ebony Grands and Vertical Model B (Hamburg B-211).
Saya tak langsung berhenti dengan dugaan awal tersebut. Pada tanggal 17 Juni lalu saya bersurat ke perusahaan yang bermarkas di kota New York, Amerika Serikat itu untuk mendapat klarifikasi dan informasi lebih jauh. Tiga hari kemudian ada email balasan dari kolega mereka yang berada di kota Hamburg, Jerman. Dua email lagi menyusul beberapa hari kemudian, dan satu email lagi berasal dari kantor perwakilan Steinway di Jakarta.
Ternyata piano yang terletak di museum kota itu adalah Grand Piano Steinway Model C-211 yang dibuat di kota Hamburg. Pada 27 September 1927, piano ini dikapalkan dari Hamburg ke sebuah perusahaan di Surabaya bernama H. Naessens & Co. Ini adalah catatan terakhir tentang piano tersebut yang masih bertahan setelah Perang Dunia II berakhir di tahun 1945 --sebagian catatan perusahaan ini hilang di masa perang. Namun catatan ini tidak berasal dari pabrik Steinway di Hamburg tapi yang berada di New York.
Dulu piano tersebut dibeli dengan mata uang Denmark tempo dulu, Reichsmark, (1924-20 Juni 1948), yang jika dikonversikan dengan mata uang Uni Eropa saat ini, akan senilai dengan 3.220 euro atau 35.973.840 rupiah (kurs tanggal 22 Juli 2006 dari Bank Indonesia cabang Makassar: Rp 11.172/euro). Sekarang model serupa dijual seharga 82.000 euro atau 916.104.000 rupiah di Jerman. Setelah disetem, harga piano itu bisa jadi merangkak naik jika dilelang di Christie London atau Ebay.
Piano itu hanya salah satu koleksi berharga Museum Kota Makassar. Gedung tua berarsitektur klasik yang berdiri di Jalan Balaikota No 11 A itu masih menyimpan beragam pernak-pernik lainnya.Bangunan museum yang dibangun sekitar 80 tahun lalu itu mulanya difungsikan sebagai gedung Balaikota.
Mulai dari Wali Kota Makassar pertama, JH Damrink (1918-1927) hingga yang ke-24, Amiruddin Maula (1999-2004) berkantor di gedung itu. Namun, di awal masa jabatannya, Amiruddin Maula berinisiatif untuk mengalihfungsikan bangunan tersebut menjadi tempat penyimpanan benda-benda bersejarah. Akhirnya, pada 7 Juni 2000 bangunan ini resmi sebagai museum.
Nostalgia Makassar
Wajah kota Makassar telah banyak berubah dari tahun ke tahun. Jika dulu pusat perbelanjaan ada di Pasar Sentral, sekarang kita bisa mendapati banyak pusat belanja dalam wujud mal. Namun jika rindu dengan rupa Makassar tempo dulu, maka Museum Kota Makassar adalah salah satu obat penawar rindu yang cocok. Karena bangunan ini menyimpan masa silam Makassar bagi orang-orang yang ingin mengenangnya saat ini.
Menyusuri ruang-ruang museum sepertinya mengajak saya menelusuri masa lalu. Isi bangunan ini menghadirkan plot sejarah kota Makassar. Rekaman perjalanan sejarah Makassar dimulai pada masa kejayaan Kerajaan Somba Opu yang kemudian diinvasi oleh Belanda. Cerita itu mengalir di sekujur Ruang Makassar Perang (1666-1669). Dulu, Kerajaan Somba Opu mengizinkan segala bangsa untuk datang dan bermukim di Kota Daeng ini.
Bahkan, dahulu di kota ini ada beberapa daerah yang menjadi tempat pemukiman bangsa asing. Mereka menganggap kota ini sebagai sebuah kota transit untuk kegiatan perdagangan mereka ke pulau Maluku.Namun, orang-orang di atas kapal dagang VOC yang berlabuh di kota ini sejak abad ke-16 menginginkan kota ini lebih dari sekadar tempat persinggahan. Orang-orang Belanda tersebut ingin menancapkan kuku kolonialismenya. Gelagat itupun terbaca oleh kakek Raja Gowa XVI, Muhammad Bakir I Mallombassi Daeng Mattawang Karaeng Mangape alias Sultan Hasanuddin.
Berbekal sebuah peta, Belanda mulai menggerogoti kota ini perlahan-lahan. Peta rahasia perdagangan VOC itu bisa dilihat di ruangan ini. Peta Hindia Timur Makassar itu menggambarkan situasi perbentengan dan lingkungannya. Selain itu, tempat-tempat tinggal raja Makassar, baik di luar maupun di dalam, juga tergambar pada peta itu.
Di ruangan ini juga dipajang lukisan Sultan Hasanuddin. Lukisan itu disandingkan dengan ilustrasi sosok tandingnya, Laksamana VOC Cornelisz Janszoon Speelman, yang ditugaskan di Makassar pada 1667.Di bawahnya terdapat dua lukisan yang bisa membawa imajinasi kita melihat situasi peperangan antara Kerajaan Gowa dan VOC. Satu melukiskan suasana perang di tahun 1667 yang akhirnya membuahkan Perjanjian Bungaya pada 18 November 1887. Dan satu lagi mengisahkan peperangan memerebutkan Benteng Somba Opu di tahun 1669.
Beberapa aksesori perang yang menghias peperangan antara Kerajaan Somba Opu dan VOC seperti sarambo (batu pelontar) dan pinabur (bola meriam) juga terpajang di ruangan ini. Termasuk naskah asli Perjanjian Bungaya.Di sebelah kiri Ruang Makassar Perang, saya mendapati Ruang Gemeente Makassar. Status kota Gemeente (kota praja) Makassar berlangsung dari 1906 hingga 1942.
Memasuki ruangan ini, mata saya langsung disuguhi patung Ratu Wilhelmina. Patung itu merupakan pemberian kerajaan Belanda pada awal abad 20-an kepada Makassar sebagai simbol bahwa mereka pernah memerintah di kota ini. Patung itu ditempatkan di Gedung Balaikota sejak zaman Gemeente Makassar. Namun, patung itu sempat hilang.
Setelah sekian silam berlalu, patung itu kembali ditemukan di daerah bilangan Jalan A. Pettarani.Dahulu, patung berbahan perunggu itu permukaannya disepuh dengan emas. Sehingga patung itu berwarna kuning emas. Tapi keadaannya kini tak serupa lagi. Patung tersebut malah kelihatan berwarna coklat. Sumber anonim yang menemukannya mengatakan, bahwa sebelum menyerahkannya ke museum, ia menghabiskan waktu sekitar sepekan untuk membersihkan ter yang melekat pada patung itu.
Jika memerhatikan perangko-perangko Nederland Indie dan tiga medalion berelief Ratu Wilhelmina yang juga terletak di ruang yang sama. Maka ganjil rasanya melihat patung Ratu Wilhelmina karena pada perangko dan medalion itu, sang ratu terlihat memakai mahkota sedangkan pada bagian ubun-ubun patung itu hanya bisa ditemukan lobang.
Masih di ruangan yang sama, saya menyaksikan beberapa foto bangunan utama-seperti rumah jabatan gubernur dan balai kelab De Harmonie-kota ini di zaman kolonial Belanda. Selera arsitektur kompeni benar-benar terserap pada bangunan-bangunan tersebut. Saya sempat berkhayal tentang romantisme kota yang diisi oleh bangunan-bangunan tersebut. Tapi saya kemudian tersadar, di balik keindahan arsitektur itu hanya ada satu makna tersirat; penjajahan.
Di Ruang Gemeente Makassar juga bisa dilihat mata uang Nederlands Indie yang hanya berlaku di Hindia Belanda, mata uang kerajaan Gowa (doe jangang), mata uang VOC, mata uang beberapa negara Asia, Eropa, dan Amerika Serikat. Serta tak ketinggalan koleksi mata uang Republik Indonesia dari ejaan lama hingga yang disempurnakan.
Setelah Ruang Gemeente Makassar, ada Ruang PDAM Memorial. Pada ruangan ini dipamerkan beberapa foto seperti foto menara PDAM pada 1924, peralatan yang dipakai oleh perusahaan yang mengurusi kebutuhan air bersih masyarakat Makassar. Di ruang terpisah, diletakkan beberapa alat untuk keperluan administrasi PDAM, brankas pertama, dan ragam kuitansi yang dipajang berderet.
Keluar dari Ruang Gemeente Makassar, hadir koleksi keramik antik, sebagian milik museum dan sebagian lagi titipan kolektor. Koleksi tersebut diletakkan di Ruang Keramologi. Di dalamnya ada keramik Cina dari jaman Dinasti Yuan (abad ke 13 hingga 14), Dinasti Ming (abad ke 14 hingga 17), dan Dinasti Cing (abad ke 15 hingga 20). Selain itu ada juga keramik yang berasal dari Vietnam (abad ke 12 hingga 14), Kamboja (abad ke 17 hingga 18), Jepang (abad ke 17 hingga 19), dan Eropa. Keramik-keramik itu berupa vas bunga yang dibuat dengan teknik lukisan dimensional, hiasan meja, peralatan masak atau perlengkapan makan. Sebagian besar keramik ini ditemukan tertimbun di dalam tanah. Pada saat Jepang berkuasa, mereka ingin tak ada hasil kreasi bangsa lain tersisa di Makassar. Oleh karena itu, orang-orang menyembunyikan barang-barang mereka ke dalam tanah.
Di samping Ruang Keramologi terdapat Ruang Etnografi. Dalam ruangan ini terdapat peralatan dapur dan makan tradisional dari bahan tanah liat, kayu, bambu, rotan, dan tempurung. Di tengah-tengah ruangan itu diletakkan sebuah terompet mini, talang naga melingkar, alat pengisap candu, dan ketel rempah yang terbuat dari bahan kuningan. Mantan rektor Universitas Hasanuddin, Prof Dr HA Fachruddin, juga menitip koleksi senjata tradisionalnya di ruangan ini.
Setelah ruangan ini ada ruang TVRI Memorial yang menyimpan beberapa peralatan yang dibutuhkan dalam pengoperasionalan stasiun televisi tersebut.
Di dekat piano Steinway terdapat satu ruang yang bernama Ruang Tokoh-tokoh Pemerintahan. Di ruangan ini terpajang daftar nama-nama Wali Kota Makassar sejak jaman Belanda (1918-1942), Jepang (1942-1945), NICA (1945-1946), Negara Indonesia Timur (1947-1950), Republik Indonesia Serikat (1950-1951) hingga Negara Kesatuan Republik Indonesia (1951-sekarang).
Tak hanya daftar nama-nama tapi juga foto mereka. Foto Wali Kota Makassar pada jaman Jepang, B Yamasaki, baru masuk ke museum ini 2004 lalu. Foto tersebut diantarkan sendiri oleh anaknya yang berdiam di kota Nagasaki, Jepang. Setelah Jepang kalah, Yamasaki sempat dipenjarakan. Menurut anaknya, setelah dibebaskan Yamasaki bekerja di sebuah perusahaan di Jepang.
Dari deretan nama wali kota itu, ternyata bukan hanya Yamasaki yang pernah mencicipi bui. Abd Hamid Daeng Magassing, wali kota di tahun 1947-1950, juga pernah dipenjara. Hamid dipenjara karena dituduh berkhianat sewaktu negara ini berbentuk serikat. Mereka berdua dipenjarakan di Penjara Makassar. Penjara itu terletak di kawasan yang kini dikenal dengan nama Jalan Nusakambangan --karena itulah jalan ini kemudian dinamakan Nusakambangan yang identik dengan lokasi pulau tempat pembuangan tahanan yang ada di Jawa.
Di ruangan yang sama, saya melihat beberapa model mesin ketik kuno yang digunakan untuk urusan administrasi pemerintahan kota. Di ruangan ini juga bisa ditemukan beberapa buku beraksara Belanda yang disusun berderet dalam sebuah rak. Buku-buku itu membahas tentang staatblad atau peraturan pemerintah kota mengenai pelaksanaan hukum, perdagangan atau militer. Rencananya koleksi bacaan yang telah ada sejak wali kota pertama itu akan dibuatkan ruang khusus dengan nama Ruang Pustaka Kolonial dan diletakkan di antara Ruang Gemeente Makassar dan Ruang PDAM Memorial.Pada ruang utama museum ini memuat beberapa tema. Tema itu antara lain Makassar yang Pluralistik, Makassar-Marege (1881-1907), dan Makassar-Olahraga.
Tema itu disajikan dalam bentuk foto. Di ruangan ini juga dapat dilihat lukisan lambang kota Makassar dan prasasti peresmian museum ini. Di lantai dua museum ini saya masih mendapatkan beberapa foto kota Makassar di masa lampau. Selain itu ada ruang rapat DPRD yang letak kursi mejanya masih diatur seperti sedia kala. Di sampingnya ada ruang kerja mantan Wali Kota Makassar HM Daeng Patompo (1965-1978) yang juga diabadikan dengan nama Patompo Memorial. Turun setengah lantai, ada Maula Art Galery. Di ruangan itu diletakkan beberapa koleksi mantan wali kota ini.
Puas bernostalgia dengan kenangan Makassar di museum ini, saya lalu berkhayal lagi tentang seorang pianis Belanda di zaman kolonial sedang duduk di hadapan piano itu. Jari-jarinya sedang menari-nari di atas tuts-tuts piano melantunkan sonata Johann Sebastian Bach atau Ludwig van Beethoven dengan indah. Di lantai dansa De Harmonie, sinyo dan noni Belanda berdansa dengan gembira mengikuti alunan nada-nada piano.
Tapi kini piano itu hanya berdiri dengan lagu sunyinya. Ia seolah-olah menunggu jari-jemari cekatan untuk memainkan kembali tuts-tuts antiknya. Ia telah menaruh kerinduan sekian lama untuk melantunkan lagu-lagu pujangga besar dunia. Atau mungkin juga ia sedang mereka-reka nasibnya nanti, akankah ia tetap membeku di salah satu sudut museum kota ini ataukah suatu saat akan ada orang yang membawanya entah ke mana. (p!)
*Citizen reporter Nilam Indahsari adalah mahasiswi Jurusan Hubungan Internasional Universitas Hasanuddin Makassar, dapat dihubungi melalui email nilam_indahsari@yahoo.com
Courtesy: Panyingkul!
No comments:
Post a Comment