Monday, April 11, 2011

Makan Siang Bersama Keluarga Syahrir


“Bisa menghidupi keluarga hari ini sudah cukup. Besok berusaha lagi.” Kalimat ini yang diucapkan oleh Syahrir (23) usai menyantap makan siang di rumahnya di Jalan Seroja No. 6B Makassar. Menu makan siang kali ini sederhana namun cukup lengkap: ikan goreng, bakwan, sayur santan dan puding gula merah sebagai hidangan penutup. Citizen reporter, Nilam Indahsari membagi pengalaman makan siangnya bersama keluarga pengamen itu (p!)


Siang itu, 25 Juli 2006, saya dengan seorang teman menikmati masakan istri Syahrir di dapur yang sekaligus berfungsi sebagai ruang tamu rumahnya. Kediaman Syahrir dan keluarganya itu adalah rumah milik orang tuanya. Sebuah rumah berlantai dua berukuran sekitar 6x4 meter persegi. Lantai bawah bertegel keramik sedangkan lantai atas berlantaikan papan. Rumah itu mulanya hanya ditempati oleh Syahrir bersama istri dan anak-anaknya. Daripada keluarga kakaknya harus membayar biaya kontrakan, Syahrir kemudian berinisiatif memanggil salah satu kakaknya untuk tinggal bersama di rumah tersebut. Syahrir yang merupakan anak ke lima dari dua belas bersaudara itu rela hanya menempati sekitar sepertiga bagian rumah tersebut.


Waktu makan siang itu, Satrya, istri tidak ikut makan bersama kami. Hari itu Satrya yang sehari-hari adalah ibu rumah tangga harus mencuci pakaian keluarganya pagi-pagi.Ia makan siang lebih awal sebelum berangkat mencuci. Namun ia tetap berbaik hati menyempatkan waktunya untuk menjamu kami.


Kami duduk di atas hamparan terpal plastik berwarna hijau. Di hadapan kami telah tersedia satu baskom plastik kecil berisi nasi. Untuk beras, Satrya biasa membeli beras di pasar yang dijual dengan harga sekitar Rp.4.500 perkilogram. Meski di kecamatannya biasa beredar raskin (beras miskin) yang dijual seharga Rp.20.400 per 25 kilogram, namun tak pernah sekalipun keluarga ini mendapatkan jatah. Bahkan dana kompensasi BBM yang dibagikan Rp.300.000 pertigabulan kepada keluarga kurang mampu tak kunjung beralamat kepada keluarga ini.


Lauk kesukaan pasangan suami istri tersebut tak tersaji di hadapan kami siang itu. Syahrir sangat gemar makan tempe sedangkan istrinya menyukai ikan kering. Tapi makan siang saat itu tetap berarti bagi Syahrir dan kami para tamunya, dengan hadirnya ikan sarden goreng tepung dan bakwan jagung yang diberi beberapa ekor udang kecil. Selain itu,tersaji pula sepiring kecil sambal serta sayur santan berisi kacang panjang, labu siam, dan nangka muda sebagai menu siang itu.


Kami makan dengan menggunakan piring yang berbeda-beda warna dan modelnya, begitu pula dengan gelasnya. Tak ada sendok dan garpu yang mendampingi piring makan kami. Yang ada adalah mangkuk cuci tangan yang mengisyaratkan bahwa kami harus makan menggunakan tangan.


Syahrir adalah salah seorang pengamen di kawasan Laguna, sebuah kawasan pusat jajanan rakyat di Pantai Losari Makassar. Awalnya, tempat rekreasi kuliner itu terletak di sepanjang pantai Losari.Pada tahun 2000 Pemerintah Kota Makassar melakukan relokasi terhadap para penjaja makanan yang berjualan di area tersebut. Mereka lalu dipindahkan ke kawasan Metro yang terletak pada jalan menuju kawasan Tanjung Bunga.


Saya pertama kali bertemu Syahrir di sekretariat Kelompok Pengamen Pantai Laguna (KPPL). Di dalam ruangan itu saya berbincang-bincang sedikitnya dengan enam pengamen termasuk koordinator mereka bernama Ruslan yang kemudian mengantar saya ke rumah Syahrir dua hari berikutnya. Bagi saya, tak begitu mudah untuk akhirnya bisa diijinkan menengok kehidupan di balik aktivitas mengamen mereka.


Awalnya mereka mengira saya adalah utusan sebuah yayasan yang mendirikan rumah singgah untuk anak jalanan (anjal). Dari sikap mereka yang begitu berhati-hati dan penuh selidik, saya menangkap kesan para pengamen ini pernah punya pengalaman buruk dengan yayasan semacam itu.


Ternyata dugaan saya benar. Pengalaman bekerja sama dengan orang-orang dari yayasan semacam itu, ternyata menghadirkan trauma tertentu di kalangan pengamen dan anak jalanan. Syahrir juga memiliki pengalaman itu. Katanya, ia pernah bergabung dengan yayasan serupa yang baru saja berdiri. Bahkan ia sempat dikirim mewakili anjal Makassar pada sebuah pertemuan yang digelar di Jakarta. Empat tahun kemudian yayasan itu mengalami kemajuan dengan mendapatkan cukup banyak donor. Namun yang terjadi kemudian, Syahrir merasa yayasan itu mulai meninggalkannya. Sebagai bagian dari komunitas jalanan, ia merasa dimanfaatkan oleh yayasan itu untuk sekadar menaikkan nama yayasan tersebut. Akhirnya ia memutuskan untuk berhenti dari situ dan konsentrasi pada pekerjaannya sebagai pengamen.


Syahrir telah kurang lebih sembilan tahun hidup dengan menjajakan lagu di jalanan. Tak seperti rekan seprofesinya yang lain, Syahrir tak berminat untuk menghafal lagu-lagu yang sedang naik daun saat ini. Menurutnya, orang bakal cepat bosan dengan lagu-lagu yang dibawakan oleh kelompok musik muda dewasa ini. Karena itu, ia memilih mempelajari lagu-lagu lama yang didendangkan oleh para penyanyi legendaris. Ia mengistilahkannya lagu ‘tahun gajah’.


Sebelumnya, tak pernah sekali pun terlintas di benak lelaki kelahiran 11 November 1983 ini, bahwa ia akan melakoni pekerjaan tersebut. Tiga belas tahun lalu ketika Syahrir masih duduk di bangku kelas 3 SD, seorang teman mengajaknya ke lapangan Karebosi untuk menangkap burung yang rencananya akan mereka jual. Namun hingga sore menjelang, tak ada seekor pun yang berhasil mereka tangkap. Perut Syahrir mulai merasa lapar namun di tangannya tak ada uang sepeser pun. Temannya lalu menunjukkan kepada Syahrir aktivitas beberapa pengemis yang bekerja di trotoar di Jalan Sudirman.


Syahrir pun tertarik melakukan pekerjaan serupa. Sekali mencoba, Syahrir berhasil menarik simpati penumpang dari pete-pete yang singgah. Pekerjaan mengemis tidaklah susah, cukup menengadahkan tangan saja sudah bisa dapat uang, pikirnya. Karena itu ia kemudian ketagihan untuk mengemis dan tak menghiraukan sekolahnya lagi. Yang ada di benaknya saat itu adalah ia sudah bisa menghasilkan uang sendiri. Terkadang ia tak pulang dan memilih tidur di trotoar.


Beberapa waktu berselang, Syahrir mulai berpikir untuk berhenti mendapatkan uang dari mengharap belas kasihan orang-orang. Ia lalu beralih profesi menjadi tukang semir sepatu namun pekerjaan itu tak terlalu lama ia lakukan. Syahrir kemudian meminta modal kepada ibunya untuk berjualan rokok. Usaha ini juga tak lama ia jalani. Dan akhirnya Syahrir memutuskan untuk membeli gitar bekas.


Dengan modal gitar bekas itulah, Syahrir mulai mengamen di bus-bus antarkota. “Pernah karena keasyikan ngamen, saya tidak sadar ternyata bus itu sudah sampai di Pare-pare,” kenangnya. Perjalanannya waktu itu tak berhenti hingga di Pare-pare saja. Tanpa tiket, ia memberanikan dirinya ikut di atas kapal ferry yang berlayar menuju kota Balikpapan, Kalimantan Timur. Di atas kapal, ia menghibur penumpang yang duduk menikmati hamparan laut biru dan semilir angin di geladak kapal. Beberapa bulan kemudian, Syahrir mulai melirik pantai Losari sebagai tempat mengamen.


Andai saja sebelumnya ia tahu karirnya akan seperti saat ini, tentu ia tidak akan memutuskan untuk meninggalkan sekolahnya, sesal Syahrir. Tapi perjalanan itu ternyata membawanya kepada suratan hidup yang lain yaitu bertemu dengan pasangan jiwanya. Masih lekat di ingatan Syahrir tentang pertemuannya dengan perempuan yang kini menjadi ibu anak-anaknya di kawasan Metro, enam tahun silam.


Syahrir bertutur, kala itu Satrya bersama teman-temannya menjadi pelaksana salah satu bazaar --sebuah kegiatan yang sering dilakukan anak-anak muda Makassar guna menggalang dana. Dan saat itu, Syahrir diminta untuk menghibur Satrya bersama teman-temannya. Namun setelah menyanyi, Syahrir tidak diberi bayaran atau sekadar ucapan terima kasih. Yang didapatkan hanyalah sikap tak acuh dari Satrya beserta teman-temannya.


Syahrir pun protes, baginya tak mendapatkan bayaran bukanlah sebuah persoalan besar, tapi sikap mereka yang dianggapnya sebagai sebuah tindakan yang tidak menghargai orang. Melihat sikap Syahrir waktu itu, Satrya kemudian memintanya untuk duduk. Ia berjanji akan membayarnya setelah ia menyanyikan beberapa tembang.


Entah dengan cara bagaimana, petikan gitar dan lagu yang dilantunkan Syahrir ternyata bisa menaklukkan hati Satria. Setelah pertemuan malam itu, mereka sering memilin janji bertemu di Metro. Bahkan tak jarang Satrya ikut mengamen bersama Syahrir. Masa perkenalan mereka tak berlangsung lama ketika Syahrir memutuskan meminang Satrya yang berumur 3 tahun lebih tua. Hubungan mereka pun akhirnya diabadikan dalam pernikahan. Keputusan menikah tentu saja membuat Syahrir makin giat bekerja untuk menafkahi isterinya.


Sewaktu berada di kawasan Losari, penghasilan Syahrir bisa mencapai Rp.60.000 hingga Rp.70.000 perhari dari mengamen dan membantu menggoreng makanan di gerobak penjual yang menyewa tenaganya. Setelah pindah ke Metro, penghasilannya menurun. “Kalau di Losari, orang yang hanya menyaksikan sunset juga bisa dihibur. Tapi kalau di Metro hanya orang-orang sedang makan yang ada,” kata Syahrir.


Rata-rata dalam sehari Syahrir mendapatkan Rp.20.000 dengan mengamen di Metro. Agar bisa menyerahkan jumlah yang cukup banyak kepada istrinya, Syahrir memilih untuk pulang ke rumah mertuanya di Desa Bili-bili, Kabupaten Gowa sekali sepekan. Waktu itu ia dan istrinya tinggal setahun lebih di sana. Dengan tak pulang sehari, berarti ia bisa menghemat uang transpor sebesar Rp.16.000. Setahun kemudian, barulah mereka mandiri dengan mengontrak rumah sendiri dengan biaya sewa kurang lebih Rp.100.000 perbulan.


Pada bulan Mei 2003 pasangan tersebut dianugerahi putri pertama yang mereka beri nama Ananda. Waktu itu pasangan tersebut baru saja berpindah tempat tinggal lagi. Kali ini, rumah kontrakannya terletak di daerah Ko’bang dekat makam Syekh Yusuf di kabupaten Gowa. Biaya kontrakannya lebih ringan yaitu sebesar Rp.70.000 perbulan dan Syahrir mengontraknya selama setahun.


amun, ketika Ananda baru saja menginjak umur 3 bulan, orang tuanya pisah ranjang. Satrya pulang ke rumah orang tuanya. Salah satu persoalan yang mendasari konflik rumah tangga mereka adalah pekerjaan Syahrir sebagai pengamen. “Istri saya melarang saya mengamen, malu katanya,” ujar Syahrir. Tapi sayang, Syahrir tak bisa mewujudkan keinginan istrinya.


Ketika menjadi orang tua tunggal bagi Ananda, Syahrir sempat mendapat pekerjaan sampingan sebagai buruh bangunan untuk pembangunan taman Hotel Sedona –kini Hotel Imperial Aryaduta. Di sana ia diupah sebesar Rp15. 000 perhari. Namun sayang, Syahrir bekerja sebagai buruh hanya selama tiga bulan. Pemberian upah yang tak kunjung teratur waktunya dari pihak kontraktor membuat ia memutuskan untuk berhenti meski ia masih harus membelikan Ananda susu bubuk seharga Rp.6.200 setiap dua hari sebagai pengganti air susu ibunya.


“Uang saya banyak habis untuk biaya makan setelah bekerja dan transportasi ke tempat kerja sedangkan gajinya tidak beres-beres,” kisah Syahrir mengenang masa sulitnya waktu itu.


Hidup seakan tak ada jeda bagi Syahrir. Sore hari sepulang bekerja di taman hotel berbintang lima yang terletak di depan pantai Losari itu, ia kembali memetik gitar dan bernyanyi di hadapan orang-orang yang sedang menikmati makan malamnya di Metro.


Hubungan renggang antara Syahrir dan istrinya tak berlangsung lama. Mereka kembali rukun dan akhirnya memiliki seorang putri lagi bernama Riska yang kini berumur 1 tahun 6 bulan. Saya menghitung umur Riska bukan dengan melihat tanggal lahirnya pada akte kelahiran, tapi pada kertas yang menempel di kayu penyangga papan lantai atas rumahnya. Di kertas itu tertulis semua tanggal lahir keluarga kecil tersebut.


Kedua orang tuanya belum menguruskan akte kelahiran bagi anak-anaknya. Padahal dengan tidak memiliki akte kelahiran, berarti anak-anak tidak tercatat dan tidak memiliki hak sebagai warga negara. Meski dikabarkan bahwa saat ini ada pengurusan akte kelahiran gratis, namun Syahrir mengatakan bahwa tetap saja mereka harus mengeluarkan biaya ketika mengurus di catatan sipil. Dirinya sendiri pun tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) karena harus mengeluarkan uang Rp.40.000 untuk mengurus di kantor kecamatan tempat tinggalnya –tarif resmi untuk pengurusan KTP hanya Rp.25.000, katanya.


Di pikiran Syahrir memang urusan administrasi yang membutuhkan biaya bukanlah merupakan hal yang harus diprioritaskan saat ini. Terlebih penghasilan mengamennya saat ini di kawasan Laguna lebih menurun lagi. Kini penghasilannya rata-rata sebesar Rp.13.000 perhari. Laguna memang tak seramai Losari atau Metro. Tak ada pemandangan menarik di kawasan ini. Di sekelilingnya hanya ada tembok pembatas. Yang memiliki sedikit pemandangan berbeda hanyalah area orang berjualan jagung bakar. Di situlah Syahrir biasa mengamen.


Dalam hidup Syahrir, penghasilannya malam ini adalah untuk kebutuhan makan keluarganya besok. Kalaupun ada uang yang tersisa, itu hanya untuk berjaga-jaga jangan sampai besok ia sakit dan tak bisa pergi mengamen.


Usai makan siang, kami menikmati puding gula merah yang tiap pagi dibuat oleh Satrya atau Syahrir sendiri jika istrinya sedang berhalangan. Saya masih duduk menyaksikan Syahrir bercakap-cakap dengan putri sulungnya. Di antara percakapan itu, Syahrir menanyakan satu hal kepada anaknya, “Nanda, mau ikut ngamen kayak Bapak, ya Nak?” Dengan cepat, anaknya menjawab, “Teja’ (saya tidak mau).” Setelah mendengar jawaban anaknya, Syahrir hanya tertawa.


Ia telah belajar pada masa lalunya. Dan sekarang ia berusaha sekuat tenaga mencari uang dan berharap kelak anak-anaknya bisa bersekolah setinggi mungkin dan tidak mengikuti jejaknya sebagai pengamen. Tawaran pekerjaan yang datang padanya dengan senang hati ia terima, seperti mengecat rumah tetangga atau membuat kursi meski dengan upah yang relatif rendah. Ia juga pernah berjualan pot bunga. Semua demi keluarganya.


Saat tengah hari, saya berpamitan dengan keluarga Syahrir. Saya telah menghabiskan sajian makan siang yang dihidangkan Syahrir dan Satrya, sambil mendengarkan kisah kehidupan keluarga pengamen ini. Pola kerja mencari nafkah di malam hari membuat Syahrir senantiasa memiliki waktu luang untuk makan bersama keluarga di siang hari.


Katanya, sebentar sore Syahrir akan ke pantai lagi. Ia akan mengayuh sepeda seharga Rp.50.000 yang dicicil dari temannya. Memiliki sepeda sudah merupakan kebanggaan bagi Syahrir. Setidaknya ia tak harus membayar uang sewa pete-pete lagi saat dia tak cukup kuat jalan kaki ke Laguna.


Kemarin malam Syahrir berhasil mendapatkan Rp.22.000 dari mengamen. Malam ini ia berharap bisa mengantongi lebih banyak lagi. Bagi pengamen seperti Syahrir yang setiap malam bernyanyi di Laguna, mereka sering berharap malam akan selalu panjang agar makin banyak kesempatan mendapatkan banyak kepingan dan lembaran rupiah. (p!)



*Citizen reporter Nilam Indahsari adalah mahasiswi Jurusan Hubungan Internasional FISIP Universitas Hasanuddin Makassar, dapat dihubungi di nilam_indahsari@yahoo.com


Courtesy: Panyingkul!

No comments: