Di balik geliat ekspor berbagai hasil kekayaan laut Sulawesi Selatan, terdapat ratusan perusahaan pengolahan skala kecil yang menjadi ujung tombak. Citizen reporter Nilam Indahsari mengunjungi salah satunya, pabrik pengolahan kepiting skala kecil di Dusun Mangara Bombang, Desa Ampekale. Kabupaten Maros, yang meski hasil olahannya berhasil menembus pasar luar negeri seperti Jepang, Hongkong dan Amerika Serikat, tapi takut mengembangkan skala usahanya. (p!)
|
Irama lagu dangdut mengalun siang itu dari sebuah bangunan. Dari jarak sekitar 10 meter, saya melihat sekumpulan perempuan di balik jendelanya. Semuanya mengenakan masker serta pakaian kerja yang serba tertutup. Tangan mereka tampak lincah bekerja mengeluarkan daging kepiting kepiting dari cangkangnya. Bangunan itu terletak di Dusun Mangara Bombang, Kecamatan Bontoa, Kabupaten Maros, sekitar 40 kilometer sebelah timur Makassar. Penduduk setempat menyebutnya”Pabrik Kepiting”. Sebelumnya, saat mendengar kata “pabrik” oleh penduduk setempat, saya membayangkan akan menemukan sebuah bangunan raksasa yang diisi mesin pengolahan yang besar dan canggih. Tapi setelah melihat bangunan itu, usaha itu lebih cocok disebut industri rumah tangga. Rumah pemiliknya berada tepat di sebelah kiri pabrik tersebut. Pemiliknya yang bernama Haji Abdul Wahab menyambut kedatangan saya bersama beberapa orang kawan lainnya dengan senang hati. Pabrik sederhana yang berdiri sejak satu dasawarsa lalu ini mempekerjakan 82 karyawan. Mereka terdiri dari dua laki-laki. Lelaki pertama bertugas sebagai pengawas dan bertanggung jawab mengolah cangkang kepiting. Lelaki kedua kerjanya melayani nelayan yang menjual kepitingnya. Setelah keranjang penampungannya penuh terisi kepiting yang dibawa oleh nelayan, dua lelaki ini lalu memasaknya. Selebihnya adalah tugas pekerja perempuan yang mengeluarkan daging kepiting dari cangkangnya. Mereka digaji setiap 10 hari. Dengan jam kerja minimal 6 jam sehari, mereka diupah sebesar Rp4.000. Kadang jika kepiting yang harus dikerja jumlahnya sedang banyak, mereka bisa diupah hingga Rp5.000 per hari. Usia pekerja perempuan ini berkisar antara 16-20 tahun. Ironisnya, Haji Wahab mensyaratkan karyawan perempuannya berstatus belum menikah. Jika ada yang menikah, maka status karyawan mereka dicabut. Kepiting yang diolah di pabrik ini hanya satu jenis yaitu kepiting rajungan. Kepiting ini berkembang biak di laut. Dagingnya putih bersih, berbeda dengan kepiting bakau yang dibudidayakan di tambak. Karena alasan inilah, konsumen kepiting pabrik ini yang berada di Amerika Serikat, Jepang, dan Singapura menyukai jenis tersebut. Tapi, ”Kalau orang-orang itu melihat keadaan pabrik yang kotor ini, mungkin mereka tak mau memakan kepiting itu,” ujar Haji Wahab sambil tertawa. Kepiting ini dibeli dari para nelayan yang hilir mudik di dermaga dekat pabrik itu. Harganya berkisar antara Rp20.000,- hingga Rp30.000 per kilogram, tergantung ukurannya. Kepiting yang berukuran besar dihargai lebih mahal karena dagingnya lebih banyak. Setelah dimasak selama kurang lebih 30 menit, kepiting lalu didinginkan. Setelah dingin, para pekerja perempuan tadi akan memisah-misah tubuh kepiting dari kaki dan capitnya. Mereka bekerja secara berkelompok di meja-meja terpisah sesuai bagian kerja masing-masing. Dengan bantuan pisau kecil, mereka memisahkan daging kepiting dari cangkangnya, baik itu tubuh, capit, maupun kakinya. Daging yang telah terkumpul lalu dikelompokkan dan ditimbang. Sesudah itu mereka dimasukkan ke dalam toples atau plastik. Hasil olahan kepiting ini bermacam-macam. Ada yang namanya Amrial Jumbo, Jumbo A, Jumbo B, Bepting, Plamvaber, Plamtunggal, Special, Speksial, Klomit, Niros, dan ada satu lagi yang membuat saya ketawa dalam hati karena serupa dengan nama saya yaitu Kepiting Nilam! Langkah terakhir adalah memasukkan toples maupun plastik berisi daging kepiting itu ke dalam kardus berisi es agar mereka tetap segar. Tapi bukan Haji Wahab yang mengirim langsung kepiting-kepiting tersebut. Ia bekerja sama dengan PT Nuansa Cipta Magello yang berada di kawasan KIMA Makassar. Perusahaan inilah yang bertindak sebagai broker antara Haji Wahab dan konsumen kepiting Mangara Bombang di luar negeri. Gaji yang diterima oleh karyawannya relatif kecil--apalagi dibandingkan dengan upah minimun provinsi yang jumlahnya sekitar lima kali lipat lebih besar. Tapi sebagai juragan kepiting, Haji Wahab mendapat keuntungan lumayan besar dari usahanya ini. Sewaktu saya menanyakan hal ini, Haji Wahab agak malu-malu menjawab. Dia hanya memberi jawaban dengan satu tangan yang memekarkan kelima jarinya. Saya memperjelas isyarat itu dengan bertanya, ”Lima juta rupiah dalam sebulan?” Haji Wahab pun mengangguk, mengiyakan. Setelah itu, ia berkata lagi, ”Kadang sampai segini kalau kepiting dan permintaannya sedang banyak,” katanya sambil memberikan dua tangannya yang memekarkan sepuluh jari. Bukan hanya daging kepiting saja yang bisa menghasilkan uang. Setelah dipisahkan dari dagingnya, karyawan Haji Wahab memasukkan cangkang yang ada ke dalam plastik. Plastik itu lantas diserahkan ke Daeng Esa, pengawas pabrik tersebut. Di tangan Daeng Esa cangkang ini dijemur. Setelah dijemur sehari, cangkang itu kemudian dihancurkan dan dimasukkan ke dalam karung. Untuk satu kilogram, cangkang ini dihargai Rp. 700,-. Jika telah ada 4.000 kilogram, maka Daeng Esa akan menghubungi pembelinya. Orang yang membelinya mengatakan kalau cangkang kepiting ini akan dikirimnya ke Surabaya. Di sana, cangkang kepiting ini akan diolah dan dijadikan pakan ternak. Siang itu Daeng Esa sempat menunjukkan kepada saya tempat penampungan cangkang kepiting pabrik itu. Di sana ada sekitar 10 karung yang tiap karungnya berisi 40 kilogram cangkang yang telah disiangi. Dari cerita seorang kawan yang sempat mengobrol lama dengan Haji Wahab saat kami berkunjung ke pabriknya, katanya pernah ada orang yang menawarkan Haji Wahab untuk mengembangkan usahanya. Namun, ia menolak. Katanya, ketika usahanya berkembang menjadi lebih besar, ia malah takut akan ada orang yang mengguna-gunainya. Alasan lugu yang sulit diterima logika kebanyakan orang. Ketakutan Haji Wahab juga dibangun oleh pengalaman temannya. Dulu ada seorang temannya yang membuat usahanya berskala lebih besar. Tapi sayang, usahanya malah jadi bangkrut. Karena itulah Haji Wahab berpikir untuk tetap pada usaha skala kecil saat ini. Apalagi nelayan di daerah itu masih menggunakan cara konvensional untuk menangkap kepiting, yaitu menggunakan pukat. Sehingga hasil yang didapat dalam sehari memang hanya cukup untuk usaha Haji Wahab yang berskala kecil. Dari penjelasan juragan pabrik ini muncul kesan bahwa sebagai pengusaha kecil, ia sama sekali tidak berminat mengembangkan usahanya. Dengan penghasilan Rp5.000.000 bulan per bulan, dan bahkan kadang mencapai Rp10.000.000 saat pesanan meningkat, Haji Wahab sudah merasa cukup. Teori pengembangan usaha tampaknya tidak masuk dalam hitungan juragan kepiting dari Desa Mangara Bombang ini. Kondisi pabrik yang sederhana ternyata mencerminkan juga kiat manajemen sederhana pemiliknya, yang memiliki visi bisnis yang tidak macam-macam. Toh bukankah, bertahan lebih dari sepuluh tahun menjalankan usaha ini, sudah menjadi prestasi sendiri bagi Haji Wahab? (p!) *Citizen reporter Nilam Indahsari dapat dhubungi melalui email nilam_indahsari@yahoo.com Courtesy: Panyingkul! |
Monday, April 11, 2011
Pengolahan Kepiting Mangara Bombang: Takut Mengembangkan Usaha
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment