Monday, April 11, 2011

Nelayan Pajukukang, 6 Bulan Berburu Ikan di Banjar

maros.jpg



Setiap akhir November, ribuan nelayan di Desa Pajukukang, Kabupaten Maros, Sulsel merantau ke Kalimantan Selatan selama enam bulan untuk mencari ikanbannyara’ (ikan kembung), sehingga menyebabkan desa ini seperti tak berpenghuni. Citizen reporter Nilam Indahsari yang menyaksikan persiapan berburu ikan kembung tahun ini, menuliskan laporannya.(p!)


Desa Pajukukkang menjadi seperti desa mati bila musim menangkap ikan kembung tiba. Sebagian besar nelayan di desa ini melaut ke Kalimantan Selatan (Kalsel) selama kurang lebih enam bulan. Tradisi mencari ikan seperti ini telah berlangsung turun temurun dan terus berlangsung dari generasi ke generasi. Untuk tahun ini, ada 80 kapal yang berangkat dan tiap kapal rata-rata diisi 20 orang. Jadi bisa dibayangkan bila sekitar 1.600 penduduk desa yang pergi setiap musim berburu ikan, maka senyaplah desa ini.


Tapi mengapa mereka harus melaut ke Kalsel? Karena tujuan utama mereka adalah menangkap ikan kembung yang populasinya sangat banyak terdapat di sekitar perairan Banjarmasin. Bulan Desember hingga Mei merupakan musim panen ikan tersebut. Karena itu pulalah, nelayan Sulawesi Selatan yang melaut ke sana menyebutnya “Ikan Banjar “atau dengan nama lokal “Bannyara’’”. Namun sebaliknya, orang Banjar justru menamakan ikan ini “ruma-ruma”.


Di kalangan orang Banjar, jenis ikan tersebut sangat dikenal. Tapi para nelayan di daerah itu tidak menangkap jenis ikan tersebut. Yang jadi tangkapan utama mereka justru adalah tenggiri dan tongkol. Dan di sinilah uniknya, karena justru nelayan Desa Pajukukang yang mencoba bertaruh nasib di perairan Banjarmasin selama setengah tahun demi untuk berburu ikan kembung.


Di sana, tiap lima atau tujuh hari mereka berada di tengah laut. Hempasan angin kencang dan gelombang laut yang tinggi tak pernah jadi halangan. Bagi mereka, itu adalah resiko yang dihadapi semua pelaut. Yang justru membuat pusing para nelayan ini adalah naiknya harga bahan bakar, yang dibutuhkan dalam jumlah banyak selama menjalankan kapal.


Siang dan malam mereka memasang alat tangkap yang disebut parengge yang dibuat dari tali berbahan nylon dan menyerupai jaring. Selain parengge, mereka juga memakai gae’ yang ukurannya lebih kecil. Jika bekal makanan atau bahan bakar mereka telah menipis, maka biasanya mereka kembali ke daratan. Ada pula yang menghubungi keluarga mereka untuk membawakan bekal ke tengah laut viahandy talky.


Jika tangkapan mereka melimpah, maka ikan dijual paling murah Rp 700 per ekor. Tapi kalau hasil yang didapat sedikit, maka ikannya bisa laku seharga Rp1.500 per ekor di tangan nelayan lokal yang menemui mereka di tengah laut. Nelayan lokal ini bertindak seperti makelar antara nelayan penangkap dan konsumen. Dalam sepekan mereka bisa saja mendapat paling banyak Rp 20 juta. Namun kalau lagi apes, mereka pulang dengan kantong kosong.



Menjadi Penduduk Sementara


Di Kalsel ada dua desa yang didatangi rombongan nelayan ini, dan selama enam bulan itulah mereka menjadi penduduk sementara di kedua desa itu. Yang pertama bernama Desa Kintap di Kecamatan Kintap dan yang lainnya lagi bernama Desa Muara Asam-asam di Kecamatan Jorong. Keduanya masih terletak di kabupaten yang sama yaitu Tanah Laut. Sebenarnya ada beberapa desa lagi yang berdekatan dengan laut. Namun, hanya dua desa itu yang memiliki sungai lebar untuk memarkir kapal mereka.


Dari cerita-cerita nelayan Pajukukang, orang asli Banjar belajar melaut dari nelayan Maros, Segeri, dan Mandar yang juga melaut ke daerah itu. Bahkan yang membuat kapal nelayan di sana adalah orang Bone dan Raha. Kapal nelayan biasanya dibuat di daerah Pagatan yang letaknya di kabupaten Kota Baru.


Di Desa Pajukukkang, beberapa hari sebelum keberangkatan para nelayan kali ini, saya berjumpa dengan salah seorang penduduk yang rencananya akan berangkat juga ke Kalsel. Namanya Hajjah Lina. Menurut dia, penduduk di desanya itu akan berangkat tanggal 30 November.


Sebelum berangkat, ada prosesi yang mereka jalankan yaitu barasanji. Barasanji ini digelar saat barang-barang untuk di perjalanan diangkut pertama kali ke kapal. Prosesi ini menghadirkan sekitar 20 hingga 40 orang di atas tiap kapal yang hendak berangkat. Orang-orang itu akan mengucapkan kata-kata serupa doa dan menerbangkannya ke langit, memohon keselamatan bagi pemilik kapal dan rombongannya selama melaut.


Setelah berdoa, beberapa makanan yang disediakan sebelumnya seperti kado’ minnya’ (beras ketan), penganan tradisional, dan pisang dua tandan, yang dibagi-bagikan kepada orang-orang yang hadir dalam barasanji itu.


Saya berbincang dengan beberapa nelayan yang akan berangkat melaut musim ini. Salah satunya bernama Amran. Tahun ini akan menjadi pengalaman melaut kedua bagi lelaki berumur 16 tahun ini. Tapi sebenarnya Amran bukanlah penduduk asli di desa ini. Dia berasal dari Jeneponto dan sengaja dipanggil untuk ikut membantu di kapal salah seorang nelayan.


Tak banyak hal saya bisa dapatkan sore itu karena hujan yang menderas memaksa saya untuk kembali ke rumah seorang teman yang kebetulan berada di dekat dermaga. Keluarga teman saya ini tidak berangkat melaut karena ternyata yang melaut di daerah ini hanya penduduk asli.


Sementara para pendatang biasanya hanya mengelola empang. Sedangkan penduduk asli dalam setahun, setelah melaut ke Kalsel, selebihnya hanya menggunakan jolloro’ (perahu kecil), menyusuri laut yang berada tak jauh dari dermaga, mencari ikan, kepiting, atau udang.



Menyaksikan Bedol Desa


Esok petang, saya kembali berada di dermaga. Kali ini suasananya lebih ramai. Orang lalu lalang mengangkat motor, kulkas, televisi, kasur, pokoknya hampir semua isi rumah mereka. Ternak mereka pun seperti ayam dan itik dikandangkan dan ditaruh di bagian belakang geladak kapal. Rasanya seperti menyaksikan sebuah proses bedol desa!


Setiba di Kalimantan Selatan, barang-barang itu akan ditaruh di rumah mereka masing-masing yang telah dibeli sebelumnya. Namun ada juga yang hanya menyewa rumah penduduk setempat. Uang sewanya sebesar Rp 2 juta selama enam bulan, yang sudah termasuk penyewaan dermaga untuk kapal mereka.


“Di rumah yang tersisa mungkin hanya cicak, kucing, dan tikus,” ujar Safaruddin, pemilik salah satu kapal yang juga akan berangkat mengarungi Selat Makassar hari itu, sambil tertawa.


Safaruddin baru membeli kapalnya tahun 1998 lalu. Tapi tahun 1998 bukanlah tahun pertama baginya melaut ke Kalsel. Sejak bayi, lelaki berusia 37 tahun ini sudah dibawa melaut oleh keluarganya. Setelah dia pandai menangkap ikan, dia pun diikutsertakan mencari ikan di tengah laut.


Namun baru delapan tahun lalu Safaruddin mampu membeli kapal sendiri dan menamainya “Doa Bersama”— nama yang sama dengan dua kapal yang digunakan oleh ayah dan kakeknya dahulu. Profesi nelayan memang sebuah profesi turun-temurun di desa ini.


Salah seorang nelayan bernama Muhammad Yasin, 33 tahun, yang juga duduk di dermaga saat itu bertutur kepada saya, bahwa tradisi melaut nelayan desa ini ke daerah Banjar dimulai tahun 1950-an. Namun, saat itu kapal mereka belum ada yang bermesin. Yang ada hanya layar dan dayung. Baru di tahun 1960-an, mereka mulai memanfaatkan teknologi mesin. Hingga waktu tempuh yang dulu sekitar dua pekan bisa dipersingkat menjadi 2 hari 3 malam.


Nelayan-nelayan ini merasa cukup terbantu dengan adanya pemberian kredit dari bank dengan jaminan sertifikat tanah mereka. Apalagi dengan harga kapal yang relatif mahal yaitu sekitar Rp 30 juta. Ada juga yang biasanya membeli kapal bekas seharga Rp 15 juta. Angka ini belum termasuk harga mesin yang bisa mencapai Rp 20 juta. Berkat kredit bank, banyak dari mereka yang dulu belum punya kapal, kini sudah membeli kapal dan ikut melaut.


Air belum pasang sore itu jadi para nelayan masih menunggu malam untuk beranjak dari dermaga. Namun, telah ada beberapa nelayan yang selesai mengemas barang-barangnya. Dan jika sudah selesai, maka ada lagi prosesi yang mereka adakan. Tapi kali ini lebih sederhana.


Waktu itu saya sempat melihat dua orang keluarga pemilik salah satu kapal mengangkat dupa dan satu nampan pisang kepok ke atas kapal. Seorang lelaki tua bersorban turut naik. Saya pun beranjak dari tempat duduk dan ikut melihat ke atas kapal. Sesaat kemudian, seorang lelaki muda mengatur letak dupa dan pisang. Dan lelaki tua tadi kemudian duduk bersila di hadapannya. Dia memanjatkan doa dan diikuti penghuni kapal.


Dan malam pun tiba. Saya mencoba mencari sisi terbaik untuk melihat kapal-kapal itu pergi satu per satu. Tapi dermaga rupanya sudah sesak. Saya pun mencoba mencari tempat lain. Di tengah perjalanan, saya mendapati seorang gadis berurai air mata. Air mata untuk kepergian kekasihnya, mungkin. Hingga akhirnya saya mendapat tempat yang nyaman.


Dari tempat tersebut, saya bisa menyaksikan langsung kepergian nelayan-nelayan tersebut. Ternyata bukan hanya kapal yang parkir di dermaga saja yang berangkat. Ada begitu banyak kapal dari dusun sebelah yang ikut ke Kalimantan malam itu.


Di atas kapal saya melihat ada sampai tiga generasi dalam satu keluarga yang berangkat ke Kalimantan. Anak-anak yang masih bersekolah akan melanjutkan sekolah mereka di sana selama enam bulan. Namun, jika mereka telah bisa menahan kerinduan dan belum bisa melaut, mereka biasanya ditinggal di desa ini.


Saya menghabiskan sekitar dua jam melihat kapal-kapal yang berjalan bagai sebuah parade di tengah kegelapan malam. Tiap kapal yang melintas, selalu diiringi sapaan dan doa dari penduduk yang tersisa. Mereka melambaikan tangan dan menitip kerinduan di tepi sungai ini. Akan banyak yang kehilangan teman dan kerabat selama enam bulan.


Di tengah keberangkatan kapal-kapal itu, saya menengadah ke langit. Tak sengaja saya melihat bintang jatuh. Saat itu pula, saya memejamkan mata lalu mengucap harapan dalam hati. Kata orang, harapan yang diucapkan saat melihat bintang jatuh, biasanya terkabul. Harapan agar para nelayan mendapatkan hasil menggembirakan di musim kali ini. Harapan yang dipanjatkan di tengah pekatnya malam.(p!)



*Citizen reporter Nilam Indahsari dapat dihubungi melalui email nilam_indahsari@yahoo.com


Courtesy: Panyingkul!



No comments: