Monday, April 11, 2011

Mencari Jalan ke Pecinan


Citizen reporter Nilam Indahsari mengajak kita jalan-jalan ke kawasan pecinan di Makassar. Tanpa berbekal peta wisata, ia melakukan upaya ekstra untuk menyusuri sejumlah tempat penting di Jalan Sulawesi dan sekitarnya, demi lebih mengenal budaya warga Thionghoa di kota ini. Perayaan Cap Go Meh hari Minggu (4/3) lalu menjadi momentum jalan-jalan kali ini. (p!)

Saya mulai jalan-jalan ini dengan menumpangi pete-pete jurusan Tallo, lalu turun di depan Pasar Sentral. Sebagai sarapan pagi, saya membeli kue kura-kura di toko Nusa. Kue ini khas Tiongkok, dibuat dari ketan kenyal berpewarna merah, berisi kacang hijau yang dihaluskan, dengan rasa legit yang pas.


Di Jalan Sulawesi, orang-orang memadati jalanan. Para panitia perayaan Cap Go Meh--yang juga terdiri dari warga Bugis Makassar, kelihatan begitu sibuk. Aroma dupa menyeruak di mana-mana.


Di antara keramaian, saya berjalan menuju Vihara Ibu Agung Bahari (Maco) yang didesain dengan aksen merah khas Tiongkok. Kelenteng ini juga dijadikan patokan waktu masuknya bangsa Tiongkok ke Makassar, ratusan tahun silam.


Beberapa pekan sebelumnya, saya bertandang ke vihara ini. Jaury Kandani, pengurus bagian umum kelenteng itu memperkenalkan saya kepada seorang lelaki tua bernama Hoat. Di kalangan pengurus, Hoat yang telah berumur 70 tahun, dijuluki ”profesor” karena banyak tahu tentang rumah ibadah penganut tri dharma itu.


Hoat mengajak saya berkeliling kelenteng, mengenalkan dewa-dewi mereka yang berbeda dalam aliran Taoisme, Konfusianisme, dan Budhisme. Setelah itu, kami ke bangunan kelenteng yang masih utuh setelah peristiwa pembakaran 1997 lalu. ”Dulu kalau ada turis mereka datang ke sini, mengagumi ukiran dan arsitektur kelenteng ini yang tidak berpaku sama sekali. Tapi setelah kelenteng ini dibakar, mereka sudah jarang kemari,” cerita Hoat kepada saya.


Di bagian dalam terdapat dua buah prasasti tentang pendirian kelenteng. Hoat membantu saya mengartikan beberapa naskah berhuruf kanji pada keduanya. Prasasti di sisi kanan bercerita bahwa, dulu kelenteng bernama asli Tieng Ho Kiong itu berdiri selama 100 tahun di lokasi Bank Central Asia kini berdiri. VOC lalu memerintahkan kelenteng itu dipindahkan ke tempatnya saat ini. Prasasti di sisi kiri antara lain mengisahkan Kapten Thung yang memprakarsai pemugaran kelenteng ini sekitar 200 tahun silam.



Puah Pue dan perayaan Cap Go Meh


Hoat memperlihatkan kalender dengan sistem perhitungan lunar, lalu menunjukkan letak hari ke lima belas dari Tahun Baru Imlek 2558 kepada saya. Letaknya memang tepat 4 Maret 2007 Masehi. Hoat pun mengundang saya menonton perayaan Cap Go Meh di tanggal tersebut.


Jaury ikut dalam kepanitiaan perayaan Cap Go Meh tahun ini. Menurutnya, perayaannya tidak tiap tahun. Sebelum Tahun Baru Imlek, ketua pengurus atau wakilnya di tiap kelenteng melakukan sembahyang di depan dewa atau dewi utama. Sembahyang ini dilaksanakan untuk mengetahui keinginan mereka; Cap Go Meh dilaksanakan secara meriah atau tidak.


Ketua pengurus akan melemparkan sepasang kayu puah pue serupa jantung berwarna merah. Jika kedua permukaan datar puah pue menghadap ke bawah atau ke atas, itu berarti mereka tak menyetujui. Tapi ketika salah satu permukaan datarnya saja menghadap ke atas, itu berarti mereka menyetujui, seperti tahun ini. Dalam mitologi Cina, sistem puah pue ini berkaitan dengan yin yang, sebuah konsep keseimbangan dinamis dalam hidup.


“Tiga tahun lalu, Dewi Maco tak menyetujui perayaan Cap Go Meh secara besar-besaran. Sekitar sepekan kemudian, tsunami datang menghantam Aceh,” kisah Jaury mengenang.



Tanah Tiongkok di Jalan Sulawesi


Beberapa pekan lalu Jaury menceritakan ritual-ritual yang akan dilaksanakan dalam perayaan Cap Go Meh. Sambil bercerita, dalam benak saya, ritual-ritual itu hadir seperti trailer film sebelum penayangannya.


Dan hari ini, saya berada di antara kerumunan orang yang menyaksikan perayaan Cap Go Meh. Ini adalah pengalaman pertama saya. Thiau-tang, ritual menorehkan pedang dan mencambuk badan sendiri, sangat menarik perhatian saya. Kata Jaury, mereka tidak merasa sakit karena telah dirasuki oleh roh dewa-dewi. Kekebalan tubuh juga diperagakan oleh bissu, penjaga benda-benda kerajaan yang dianggap sebagai padati roh para raja.


Selain itu, ada barongsai dan beberapa anak muda membawa boneka panjang menyerupai naga, badannya diliukkan naik turun, ke arah kiri dan kanan. Ketika melihat boneka naga ini lewat, seorang anak kecil di depan saya bertanya kepada bapaknya, ”Mana apinya, bapak?”


Sebuah mobil ditumpangi gadis-gadis berpakaian khas Tiongkok dengan beragam warna, di antaranya baju mengkilap cerah dihiasi kancing Shanghai. Di samping mereka diletakkan bunga sakura artifisial berwana merah jambu, serasa menambah kental nuansa Tiongkok siang ini. Sekelompok gadis kecil juga berpakaian sama dan berjalan sambil membawa lampion merah. Di belakang mereka, sekelompok lelaki kecil berpakaian serupa biksu.


Seorang perempuan dihias seperti Dewi Kwan Im. Di Tiongkok, orang menyebutnya Kuan Shi Im Pu Sat, di India ia dikenal sebagai Avalokitesvara Bodhisattva, sedangkan di Jepang namanya Canon—seperti sebuah merek barang elektronik. Nama Kuan Im sendiri berarti bermata seribu, bertangan seribu. Di kelenteng, saya menemukan beragam rupa dari dewi ini. Kata Hoat, itu karena Kuan Im mengalami 84 kali reinkarnasi.


Sekitar pukul 14.30 wita, saya kembali ke Kelenteng Maco dan duduk di samping kanan kelenteng, mendengarkan sekelompok lelaki tua memainkan musik. Di dekat saya, duduk seorang perempuan tua bernama Daeng Pudji, 84 tahun, ayahnya Tionghoa sedangkan ibunya orang Pare-pare. Di Makassar, ia tinggal seorang diri, suaminya telah tiada dan anak-anaknya berada di luar kota ini. Ia naik becak dari rumahnya di Jalan Pasar Kalimbu ke kelenteng ini khusus menonton karnaval.


Kami berbincang cukup lama sebelum ia beranjak sembahyang dalam kelenteng. Sebelumnya, ia berkata kepada saya sambil tersenyum, ”Kalau tinggal di kampungnya orang, kita harus baik-baik dan suka menolong.”


Di depan kelenteng, terdapat bangunan berarsitektur Tiongkok kuno. Kata Hoat, bangunan itu adalah tempat penyimpanan abu orang-orang Tionghoa yang tak punya sanak saudara. Saya sempat mengintip ke dalam dan menemukan bangunan itu sepi.


Di samping kelenteng, saya bersua dengan Suwardi, seorang ahli seni relief dan lukis dari Kertosono, Jawa Timur. Ia dipanggil khusus membuat beberapa relief di bagian kelenteng yang direnovasi. Karyanya antara lain Dewa Pintu (Men Sheng), naga, dan delapan dewa-dewi dalam kepercayaan tri dharma. Relief Bunda Maria yang dipajang dalam rumah sakit Stella Maris juga adalah karyanya. Semuanya dikerjakan sendiri dengan mengambil ilustrasi dari kalender.


Kemeriahan Cap Go Meh masih berlanjut malam nanti, karena itu saya mengunjungi sebuah warung kopi di pertigaan Jalan Sumba dan Jampea, untuk mengusir kantuk saya. Pemiliknya berdarah Cina. Dari papan nama di atas pintu masuknya, saya mengetahui kalau usaha ini mulai tanggal 8 Januari 1960. Teko maupun panci pemanas airnya terbuat dari kuningan yang sudah menghitam. Sedangkan kopinya bermerek Setia, dibeli di Jalan Irian.


Di kalangan orang Tionghoa, para pengusaha warung kopi masuk dalam suku Hainan. Sedangkan mereka yang jadi pedagang disebut Hakka/Khe, Kanton (tukang emas), dan Hokkian.


Setelah menikmati segelas kopi susu dan kue duri-durian isi karake’ (kelapa parut dan gula merah), saya mendatangi sebuah bangunan di Jalan Sulawesi. Bangunan berusia 153 tahun ini adalah pattotoang atau rumah sembahyang kepada leluhur dari marga Niong.


Hengki, 80 tahun, yang menjaga tempat ini juga bermarga Niong. Dia bercerita sedikit perkara yang sedang dihadapinya. ”Banyak keturunan marga Niong saat ini yang beragama Kristen ingin ikut bersembahyang di depan altar, tapi saya melarang mereka masuk ke tempat ini. Kalau mereka beragama Islam tak masalah, karena leluhur saya juga ada yang Islam,” kata Hengki.

Di depan altar, Hengki memperlihatkan plakat dan abu leluhurnya, juga bercerita pantangan dalam marga mereka. ”Kami dilarang makan ikan balana,” katanya, mengingatkan mitos dalam keluarga ibu saya yang melarang memakan ikanmasapi yang karena salah satu leluhur kami lahir dalam bentuk ikan itu. Hengki pun menimpali bahwa ikan balana itu sama dengan masapi, dan asalnya dari Bulukumba—sama dengan asal kakek saya. ”Wah, jangan-jangan, saya juga salah satu keturunan marga Niong,” gumam saya dalam hati.


Sehabis dari tempat ini, saya pergi ke Mie Anto di Jalan Bali. Sebelum sampai ke situ, saya melihat Hotel Dinasti, atapnya seperti atap Istana Kekaisaran Jepang yang terletak di jantung kota Tokyo.


Sayang, Mie Anto tutup. Tapi saya tetap bisa menikmati mie kering di Jalan Irian. Saat menyusuri Jalan Bali, saya melihat beberapa bangunan lama, tapi desainnya bukan desain Tiongkok tapi Belanda. Di jalan ini pula, Makassar Theater terletak, bioskop lama yang mampu bertahan hingga kini. Di depannya, ada rumah yang memasang ornamen pakau dengan lambang yin yang di tengahnya.


Berbelok ke arah kanan, saya sudah mendapati Jalan Irian. Di Jalan ini saya mendapati Foto Kantongan—usaha foto pertama di Makassar. Kakak kedua saya suka berfoto di situ karena menurutnya, pemiliknya tahu bagaimana mengarahkan gaya pelanggannya.


Dan akhirnya sampailah saya di Mie Titi yang kini memiliki tiga cabang di Makassar. Saya hanya sanggup menghabiskan porsi kecil mie kering seharga Rp 11.000,00. Bagi saya, mie kering enaknya disantap panas-panas, diberi lombok kuning, dan lombok merica yang direndam cuka beberapa hari. Hm, nikmat...


Setelah kenyang, saya kembali ke Jalan Sulawesi. Jalanan ini telah berubah jadi pasar malam dan konser musik. Ada beberapa stan yang menjual makanan dan kue tradisional. Beberapa anak muda meluncurkan kembang api ke udara. Ratusan lampion merah dinyalakan, mengingatkan saya pada salah satu julukan negeri Tiongkok ”Negeri Seribu Lentera”. Dua orang master of ceremony di atas panggung berkata, “Jadi pak wali kota mengumumkan, tidak ada lagi penggunaan kata ”keturunan”, kita di sini semuanya satu.”


Miskin Konsep

Persoalan etnis memang sensitif. Warga Tionghoa di Indonesia baru kembali mendapat kesempatan merayakan Tahun Baru Imlek secara terbuka setelah era reformasi dimulai. Berbagai kerusuhan besar yang menyerang etnis China tercatat dalam sejarah kelam perjalanan bangsa, belum lagi diskriminasi yang dialami.


Pecinan adalah bagian dari sejarah panjang kota ini. Tapi lokalisasi orang-orang Tionghoa di daerah ini yang bermula saat masih jaman penjajahan, juga berpotensi jadi masalah. Di Singapura, konsep China Town tidak mengelompokkan orang-orang Tionghoa dalam suatu kawasan, mereka malah berbaur dengan warga lainnya. China Town di sana lebih diarahkan untuk kepentingan pelestarian dan betul-betul ditata untuk menarik wisatawan.


Di negeri Tiongkok, kota Xi’an dikhususkan sebagai preservasi sejarah. Xi’an berhasil mengemas masa lalu Tiongkok kuno ke masa kini dengan menjaga kekhasan desain bangunan, pakaian penduduknya pun masih gaya lama. Bahkan di jalan-jalan, masih banyak ditemukan orang bersepeda, berjalan kaki, atau mengangkat batu-bara dengan kereta.


Tapi di China Town Makassar, suasananya sangat berbeda dari konsep China Town yang dikembangkan di luar negeri. Pecinan di Makassar sangat miskin konsep dan tanpa fasilitas mendukung untuk tumbuh sebagai kawasan wisata yang menarik.


Untuk kepentingan pelestarian, misalnya, seakan-akan tempat ini bukan sebuah ruang yang dibuat untuk merekonstruksi sejarah. Bangunan yang banyak ditemui di kawasan ini adalah ruko dengan pintu dan jendela berteralis, yang menandakan bahwa sang penghuni begitu ”membentengi” dirinya dari bahaya dari luar yang bisa datang kapan saja. Sejarah memang masih didapatkan jejaknya di bangunan vihara yang tua, tapi selain itu, tak banyak lagi yang bisa ditemukan.


Kerusuhan besar di tahun 80-an, disusul kejadian yang sama pada tahun 1997 dan terakhir pada tahun 2006, memang membuat etnis China di Makassar seolah berada dalam pusaran trauma, yang tercermin dari rumah mereka yang ditutup rapat-rapat, dilindungi tembok tinggi, dan pergaulan yang eksklusif.


Perjalanan saya berakhir di gerbang China Town di depan Jalan Jampea. Gerbang inilah satu-satunya upaya yang kasat mata untuk menandakan bahwa di sinilah letak ”China Town a la Makassar”. Adapun upaya untuk menelusuri budaya warga Thionghoa di kota ini, melakukan wisata kuliner dan mengagumi arsitekturnya, adalah hal yang harus diupayakan sendiri oleh pelancong jalanan seperti saya.


Tak ada peta, tak ada brosur wisata yang menjelaskan secara detail kekayaan sejarah dan budaya apa saja yang bisa dinikmati di sini. Apalagi sebuah gerai informasi wisata di sekitar pecinan. Saya menyebutnya, jeje-aus, alias ”jalan-jalan atas usaha sendiri”. (p!)



*Citizen reporter Nilam Indahsari dapat dihubungi melalui email nilam_indahsari@yahoo.com


Courtesy: Panyingkul!

No comments: