Monday, April 11, 2011

Pejuang Perempuan Itu Bernama Rijem


Lebih dari satu abad lalu, RA Kartini menuliskan pemikiran tentang pentingnya pendidikan bagi kaum perempuan. Di Makassar, Rijem, seorang penjual jamu yang tidak tamat sekolah dasar, memaknai perjuangan pendidikan dengan cara yang lain: merantau jauh-jauh dari Solo, bekerja keras di kampung orang, demi untuk menyekolahkan keempat anaknya. Citizen reporter Nilam Indahsari menuliskan profil Rijem, penjual jamu langganannya, satu dari begitu banyak perempuan di sekitar kita yang menjalani perjuangan yang serupa, sebagai persembahan di Hari Kartini. (p!)


Makassar adalah hidup Rijem. Meski sebenarnya 47 tahun lalu ia lahir di desa Tangklok, kecamatan Bendosari, kabupaten Sukoharjo, Solo, Jawa Tengah. Ia memiliki satu saudara dari ibu yang meninggal dunia di saat ia masih kanak-kanak. Ayahnya memutuskan untuk menikah lagi, dan dari ibu keduanya, Rijem mendapat seorang saudara lagi.


Hingga umur 16 tahun, perempuan berdarah Jawa ini sehari-hari hanya bekerja bersama keluarganya, menggarap sawah. Pengairan sawah mereka bergantung dari musim hujan saja. Karena itu, dalam setahun mereka hanya memanennya sekali. Luasnya tak seberapa sehingga sekali panen biasanya hanya 10 kresek gabah dengan berat rata-rata 30 kilogram per kresek.


“Hasilnya itu tidak dijual, itumi yang dimakan sehari-hari,” kata Rijem, mencampur bahasanya dengan dialek Makassar yang kedengaran sedikit aneh di telinga saya. Untuk lauk, keluarga Rijem menjual kacang tanah yang ditanam di sela musim panen dan tanam padi. Selain itu, mereka juga memelihara beberapa ekor ayam.


Semuanya pas-pasan untuk kebutuhan makan saja. Untuk sekolah, mereka tak punya biaya lagi. Rijem sendiri bersekolah hingga sekolah dasar kelas dua. Kondisi keluarga inilah yang mendorong Rijem memenuhi tawaran Man dan Narsih untuk berjualan jamu di Makassar. “Waktu itu saya pikir, kalau tetap di kampung garap sawah, tidak bisa dapat uang untuk menyekolahkan kalau punya anak nanti,” tuturnya.


Man dan Narsih adalah sepasang suami istri yang sebelumnya sudah menjajal hidup di Makassar dengan berjualan bubur dan jamu. Mereka berhasil bertahan di kota ini. Untuk itu, hampir tiap tahun saat pulang ke kampung halamannya, Solo, mereka mengajak orang-orang sekampung yang ingin bekerja di Makassar. Setiap orang yang diajak, akan dimodali dengan persyaratan keuntungan mereka sehari dibagi dua. Tapi kini pasangan itu telah kembali ke Jawa.


Sebenarnya Man dan Narsih membatasi perjanjian kerja sama mereka dengan orang-orang yang mereka datangkan ke Makassar selama setahun saja. Namun, karena telah merasa pas dengan penghasilannya di Makassar, maka Rijem memutuskan untuk kembali setelah dua bulan masa perjanjian itu berakhir.


Rijem punya seratus ribu rupiah di tangannya waktu itu untuk memulai hidup sendiri di Makassar. Tak ada keluarga yang menemani di Makassar, hanya teman sekampung. Ia kembali berjualan jamu dan tak lagi gemetaran sampai memecahkan botol jamu seperti kali pertama ia menjajakan jamu.


Namun belakangan jualannya tak selaris dulu lagi. “Dulu keuntungan sehari itu masih banyak. Modal dua puluh ribu rupiah sudah bisa untung sepuluh ribu rupiah,” kata Rijem. Di masa sekarang, uang sepuluh ribu rupiah memang relatif terbilang sedikit. Kalau dulu, dibelanjakan jamu gendong, akan dapat seribu gelas tapi sekarang cuma sepuluh gelas saja. Besarnya keuntungan tak hanya didapat dari menjual jamu racikan mereka sendiri, tapi juga telur ayam dan jamu kemasan yang masih banyak dipesan para pelanggan.


“Teman-teman yang menjual jamu di Palopo masih banyak laku jamu kemasannya. Kalau di Makassar, banyak orang sudah beli sendiri di pasar,” kata Rijem.




Bersaing dengan Jamu Kemasan


Jamu kemasan memang telah mudah didapatkan saat ini. Selain di supermarket yang kini menjamur di segala penjuru kota, kita pun bisa mendapatkannya di apotek atau di gadde-gadde (warung) dekat rumah.


Berbeda dengan awal kedatangan Rijem di tahun 1975 dan beberapa tahun setelahnya, jamu kemasan hanya dijual di Pasar Sentral. “Waktu itu, di Pasar Terong yang dekat dengan tempat kos saya di Jalan Kandea, belum ada yang jual jamu kemasan,” tutur Rijem. Karena itulah, Rijem remaja tak menghabiskan akhir pekannya seperti kebanyakan anak muda saat ini. “Kalau akhir pekan, saya tidak biasa pergi jalan-jalan, biasanya cuma ke pasar Sentral beli jamu kemasan untuk saya jual kembali,” kenang Rijem.


Dulu Rijem memang hanya punya waktu luang di akhir pekan saja karena di hari lain ia harus menyiapkan jamunya sedari subuh. Jam 7 pagi hingga jam 12 siang, ia akan berjalan sambil menggendong bakul jamunya ke Pampang I, Pampang II, hingga daerah Limbangan. Ia akan singgah ketika ada yang memanggilnya. “Bos saya dulu mengajari begitu, nanti singgah kalau ada yang panggil,” kata Rijem.


Sore pukul empat ia mengubah rutenya yakni ke sekitar pasar Taman Hiburan Rakyat di daerah Maccini yang menjadi tempat bermain idaman saya saat kecil, yang kini telah dialihfungsikan jadi kantor Perusahaan Daerah Kebersihan. Pelanggannya rata-rata penjual rombengan. Menjelang magrib, jamunya telah terjual. Dan malam adalah waktu bagi Rijem untuk melepas lelah.


Waktu terus berlalu, persaingan tak hanya datang dari kehadiran jamu kemasan yang kian terjangkau oleh masyarakat, tapi juga jumlah penjual jamu yang bertambah. Rijem tak lagi menyusuri kedua rute tadi, melainkan berputar di sekitar jalan rumah saya, Jalan Cumi-cumi dan pasar Terong. Ia pun hanya berjualan pagi hingga tengah hari. Selain sudah jarang orang yang ingin meminum jamu di petang hari, juga karena usia yang terus menggerus kekuatan Rijem untuk dapat berjalan jauh. “Sekarang dalam sehari, modal Rp40 ribu untungnya Rp20 ribu saja,” ungkap Rijem.



Menyekolahkan Anak


Kisah cinta Rijem pun dimulai di kota ini. Perkenalan Rijem dengan seorang lelaki bernama Supardi, cukup sederhana namun dapat bertahan hingga pelaminan bahkan sampai saat ini. “Adik ipar saya yang juga teman menjual jamu, mengenalkan saya ke kakaknya lewat surat,” kata Rijem, mengenang. Supardi tertarik dengan deskripsi adiknya tentang Rijem di surat tersebut. Lelaki kelahiran 1956 itu pun ke Makassar. Dua bulan berselang tepatnya 21 September 1978, Supardi menikahi Rijem. Supardi pun berjualan bakso di pasar Terong. Mereka sepakat membangun suka duka berkeluarga di kota ini.


Mereka mengontrak sebuah rumah di Jalan Sunu No. 20D, yang berada tak jauh dari rumah saya. Di sekitar rumahnya, ada empat keluarga lain yang berasal dari Jawa. Ada yang berjualan bakso adapula yang menjajakan nasi kuning.


Mereka telah dikaruniai empat anak dan semuanya bersekolah sampai sekolah menengah, seperti impian Rijem sebelum ke Makassar. Bahkan baru-baru ini, anak ketiganya yang mengajar di salah satu sekolah dasar mendapatkan beasiswa untuk kuliah di Indramayu. Anak pertamanya yang merupakan teman sekolah dari teman sepermainan saya waktu kecil, kini bekerja sebagai sales promotion girl di salah satu mal. Anak keduanya bekerja sebagai juru mudi di kapal barang. Dan yang bungsu masih menjalani studinya di salah satu sekolah kejuruan.


Tinggal di daerah orang lain membuat keluarga Rijem harus beradaptasi. Yang paling tampak adalah dari segi bahasa. Ketika bercakap dengan tetangganya, tak jarang mereka disuguhi bahasa Makassar. “Tapi setelah itu, pasti dikasi tahu artinya. Jadi sedikit tahu juga bahasa Makassar,” ujar Rijem. Anak-anak mereka yang lahir dan besar di Makassar bahkan mengerti bahasa daerah orang tua mereka secara pasif saja.


Rijem sendiri bercerita kalau dirinya sudah tidak begitu lancar lagi berbahasa Jawa. “Jadi sekarang lebih lancar ngomong dalam bahasa Indonesia,” kata Rijem. Ia hanya menggunakan bahasa daerahnya dengan suami, saat bertemu dengan teman sekampung di jalan atau acara-acara, dan tentu saja ketika ia mudik.


Dalam setahun, Rijem dan suaminya pulang ke Solo sekali. Selain melepas kangen atau menjenguk rumah mereka yang ditinggali mertua Rijem, mereka juga menyempatkan untuk membeli beberapa bahan jamu yang tidak ada dijual di Makassar. “Tiap penjual jamu biasa racikan jamunya itu beda-beda. Kalau saya campurkan pekka (bahan pewangi) yang tidak dijual di sini untuk bahan beras kencur, biar harum. Jadi, kalau pulang ke Jawa, biasanya beli pekka banyak-banyak,” cerita Rijem kepada saya.


Empat hari lalu, Mbak Rijem –demikian saya memanggilnya- singgah di rumah saya, setelah sepekan lebih tak berjualan. Saya dan kakak sudah jadi langganannya sejak empat bulan terakhir ini. Kami berdua rutin meminum jamu ramuan Rijem belakangan ini, meski sebenarnya sejak kecil saya melihatnya berjualan. Dulu, saya sering melihat Rijem hampir tiap hari singgah di rumah tetangga.


Tapi sekarang Rijem tak lagi menggendong jamunya. Beberapa tahun lalu, dokter menyarankan ia untuk mengangkat kandungannya, setelah ia keguguran. Setelah operasi, anak ketiganya mengajari Rijem mengayuh sepeda untuk mengangkut jamunya. Beralihlah Rijem dari penjual jamu gendong menjadi penjaja jamu dengan sepeda.


Sambil menyiapkan segelas jamu, Rijem bercerita perihal kesibukannya dalam sepekan terakhir. Ternyata ia sibuk membantu adik sepupunya --yang menyusulnya sekitar dua tahun kemudian ke Makassar. Sepupunya itu baru-baru melaksanakan pernikahan anaknya. “Saya bantu-bantu untuk membuatkan masakan dan kue khas Jawa,” kata Rijem.



Pernikahan Jawa di Makassar


Berceritalah Rijem bahwa adat orang-orang Jawa yang tinggal di Makassar memang masih kelihatan kental pada saat acara pernikahan. Mulai dari prosesi, seragam, hingga makanan dan kue-kue yang disajikan. Sebelum akad nikah, malamnya diadakan midodareni, di Makassar prosesi ini diistilahkan malampaccing. Kedua mempelai akan duduk di pelaminan yang di samping kiri kanannya diletakkan kembar mayang yang dirangkai dari batang pohon pisang, janur, dan buah-buahan. Pada akhir acara midodareni, biasanya orang-orang akan berebutan buah yang ada di rangkaian kembar mayang.


Setelah akad nikah dilaksanakan di rumah pengantin perempuan, pasangan pengantin akan berkunjung ke rumah pengantin laki-laki yang dikenal sebagailekka’ di Makassar. Usai lekka’ dan sebelum ke gedung, mereka akan balik lagi ke rumah pengantin perempuan untuk prosesi injak telur dan sungkeman dengan orang tua.


Di pelaminan, pasangan pengantin akan duduk bersandingan. Kalau di Jawa,lamming mereka tak berupa kain beludru yang dihiasi beragam payet, melainkan ukiran kayu khas Jawa. Namun, Rijem belum pernah menemui lamming sejenis itu saat menghadiri pernikahan anak-anak dari kerabatnya di Makassar. “Kalau di sini, lamming orang Makassar saja yang dipakai,” ujar Rijem.


Pakaian adat Jawa juga dikenakan oleh para keluarga selain oleh sepasang pengantin.Pengantin laki-laki mengenakan jas tutup dengan blankon di kepala sedangkan perempuan memakai kebaya hitam dan rambutnya disanggul. Sebagai bawahan, mereka menyerasikannya dengan kain panjang motif batik.


Seragam pengantin ini masih sangat jarang dijual atau disewakan di Makassar. Jadi, biasanya pasangan pengantin yang ingin melaksanakan prosesi pernikahan mereka dalam adat Jawa, menyewa seragam mereka di salah seorang pengusaha penyewaan pakaian pengantin di Jalan Baji Maccini atau di sebuah salon di Jalan Kapoposang. “Di pasar Sentral sebenarnya ada juga dijual, tapi untuk kain panjang batiknya itu tidak pakai wiron (lipatan-lipatan pada kain yang digunakan sebagai bawahan),” jelas Rijem.


Para undangan tak sedikit pula merupakan kerabat mereka dari Jawa. Paguyuban yang terbentuk karena kesamaan asal daerah, membuat silaturahmi di antara mereka tetap terjalin. “Kalau saya masuk dalam paguyuban Cipto Rukun. Biasanya kami berkumpul lagi bila ada acara seperti kawinan, sunatan, atau aqiqah,” kata Rijem.


Pagi ini percakapan saya dan Rijem diakhiri dengan cerita kapan rencananya untuk menetap kembali di Solo. “Saya rencananya akan tinggal di Jawa kalau sudah tidak sanggup lagi bekerja di sini. Dua anak saya kan juga sudah menikah dan menetap di sana,” ucapnya.


Rijem menjual jamu demi mewujudkan impiannya yaitu menyekolahkan anak-anaknya setinggi mungkin. Sesuatu yang tak bisa ia dapatkan sewaktu kecil. Ia adalah pahlawan pendidikan sesungguhnya bagi anak-anaknya.


Usai bercerita, Rijem meraih sepeda tuanya, menyusuri jalan sambil menjajakan jamu racikannya. Setelah Rijem berlalu, tinggallah saya dengan segelas jamu yang harus diteguk habis. Biasanya saya butuh waktu setengah jam untuk mengumpulkan keinginan menghabiskan temulawak dan sambiloto yang pahitnya minta ampun. Tapi untung setelah itu, ada air gula merah yang dicampur dengan kehangatan jahe, sebagai penawar rasa pahit. (p!)



*Citizen reporter Nilam Indahsari dapat dihubungi melalui email nilam_indahsari@yahoo.com


Courtesy: Panyingkul!

No comments: