Monday, April 11, 2011

Sepanjang Jalan Bersama Kenangan Om Sammy




Kedatangan Sammy Lee dan istrinya Brenda Parkinson ke Makassar di penghujung April 2007, mendorong sejumlah citizen reporter Panyingkul untuk mengadakan napak tilas, mengurai kenangan masa lalu di kota ini. Dari sebuah reuni bersama teman sepermainan semasa remaja, hingga jalan-jalan ke sejumlah tempat yang pernah akrab dalam hidupnya, Om Sammy pun mencoba menghadirkan kembali suasana ketika Makassar masih bersahaja. Inilah catatan citizen reporter Nilam Indahsari yang bersama Sita Cundamani mengorganisasikan napak tilas ini.(p!)


Dua hari di penghujung April 2007 saya kedatangan tamu dari jauh. Namanya Sammy Lee. Dia seorang asal dari Makassar tapi pernah merantau dan bekerja sebagai guru dan dosen bahasa Inggris di lima negara, Indonesia, Malaysia, Makau, Cina, bahkan kepada anak-anak orang Australia keturunan Inggris di SMA Negeri di Queensland, Australia, yaitu Bribie Island State High School. Meski tak ada hubungan keluarga di antara kami, namun saya memanggilnya dengan sebutan om, hanya karena pertimbangan usia saja. Kami berkenalan di mailing listsitus Panyingkul beberapa bulan lalu. Dan ketika ia berencana untuk ke Makassar bulan April lalu, maka kami mengagendakan sebuah napak tilas, bercerita tentang kota ini di masa lampau.


Om Sammy lahir 67 tahun lalu, tapi ketika masih kecil dibawa pindah oleh orang tuanya ke Makassar. Saat ini ia berdiam di kota Sydney, Australia. Sebenarnya, om Sammy telah beberapa kali bertandang di kota dimana ia dibesarkan ini, setelah hijrah ke berbagai negara, termasuk Negeri Kanguru tahun 1975 silam. Namun, baru kali ini ia pulang dan bersua dengan teman-temannya. Pertemuan mereka diadakan malam 29 April 2007 lalu dalam sebuah ruang dari restoran Imperial Star yang terletak di sudut pertigaan Jalan Datu Museng dan Jalan Lamaddukelleng.


Dalam newsletter yang ia bagikan ke teman-temannya, om Sammy menyebut-nyebut situs Panyingkul sebagai media yang akhirnya bisa mempertemukan ia dengan teman-temannya semasa muda. Pada 12 Januari 2007, om Sammy menuliskan komentar pada tulisan Rahmat Hidayat berjudul “Koningsplein 1916”. Pada komentar tersebut, om Sammy menuliskan bahwa di pertengahan tahun 50-an ia bersekolah di SMP Frater Makassar yang terletak di Jalan Thamrin. Komentar ini dibaca oleh Sita Cundamani, puteri dari Nurul Burhanuddin, teman om Sammy yang kini berdomisili di Jakarta.


Sebelum makan malam, mbak Sita–demikian saya memanggilnya—yang saya temui di Imperial Star bercerita sedikit bagaimana ia mempertemukan om Sammy dengan ibunya juga beberapa teman lain malam itu. “Jadi, pas saya baca komentarnya om Sammy, saya langsung menghitung-hitung, kalau SMP-nya di tahun 50-an mungkin om ini kenal dengan ibu saya.” Keesokan hari, mbak Sita mengirim surat elektronik ke om Sammy, bertanya jikalau saja om Sammy mengenal ibunya. Om Sammy membalas email tersebut dan mengatakan bahwa ia memang mengenal ibu mbak Sita yang dulu sekolah di SMP Zuster.


“Oh, itu teman saya. Ibu kamu itu dulu kembang rosina Makassar,” ujar mbak Sita, menirukan isi email om Sammy. Dulu SMP Frater hanya diperuntukkan untuk anak laki-laki, karena itu dinamakan boys’ school dan gir’s school-nya adalah SMP Zuster-kini SMP Rajawali Cendrawasih. Pelajar laki-laki dan perempuan ini bisa menjadi akrab karena perjumpaan mereka di jalan, bioskop, atau pesta yang diisi dansa di akhir pekan.


Beberapa saat kemudian mbak Sita berkata lagi, “Berarti warganya Makassar dulu sedikit sekali kalau ibu saya jadi kembang mawarnya.” Mendengar perkataan mbak Sita, saya dan kedua teman yang lain spontan tertawa. Rasanya, selera humor mbak Sita menambah selera makan kami malam itu. Tawa kami tumpah di meja makan tiap kali mbak Sita mengatakan guyonan lagi sehingga kami tak mengindahkan lagi table manner untuk sebuah makan malam di restoran mewah.


Saya dan mbak Sita duduk di luar ruangan yang dipesan untuk reuni om Sammy malam itu. Kami asyik berbincang tentang bagaimana pertemuan om Sammy beserta 12 orang temannya bisa berlangsung dan beberapa hal lain.


Waktu membawa banyak perubahan pada tiap-tiap orang tersebut. Profesi mereka pun telah beragam. Ada yang bekerja sebagai dokter, pengusaha, anggota dewan, dan seorang romo (pastur).


Hanya sesekali kami masuk ke ruang reuni. Saat masuk, kami tak banyak berbicara, hanya memotret atau mendengarkan mereka menembangkan lagu-lagu nostalgic oldies tahun 50-an dan berbagi memoar-memoar manis di masa muda yang tak mungkin terulang lagi. Tak terkecuali perbincangan tentang asmara. Mbak Sita mengistilahkannya KLBK alias Kenangan Lama Bangkit Kembali. Hanya saja pembicaraan ini tak terlalu banyak mengingat beberapa orang membawa pasangan hidupnya. Kalau tidak, pasti akan lebih seru lagi kisah mereka dan aksi mereka saling goreng menggoreng satu sama lain.


Namanya Elizabeth Liman dan disapa tante Els, seorang importir dan penyuplai daging, anggur dan komoditi lain dari Australia, dan mengimport hasil lainnya ke negara kanguru dari Indonesia. Selain di Indonesia, ia telah membuka cabang di Hong Kong, Dubai, Singapura, dan baru-baru ini di Makau.


Om Sammy dan mbak Sita memanggilnya dengan julukan Elizabeth "Superwoman" Liman. Dia tiba petang hari itu, dan berangkat kembali ke Jakarta, hanya seolah-olah minta api ke Makassar, khusus untuk menghadiri reuni malam itu saja, karena harus mempersiapkan diri untuk berangkat lagi dalam perjalanan bisnisnya ke negara lain.


Om Tommy Ong yang disapa balandayya karena kulitnya putih seperti orang Belanda, bercerita sambil memeragakan bagaimana dulu di suatu hari ia menunggui tante Els turun dari pohon mangga. Ia memetaforakan dirinya terhadap tante Els saat itu seperti piet hitam dari Sinterklas.


Om Sammy sendiri berkata kalau tante Els adalah perempuan pertama di Makassar yang berani mengenakan celana jeans. “She looked so slim and cute,”ujar om Sammy mengomentari penampilan tante Els di kala muda.


Beberapa kenangan tampak masih terjaga di memori mereka masing-masing. Seperti kenangan malam dansa terakhir yang om Sammy hadiri. Ia mengutarakannya dengan mendeskripsikan penampilan ibu mbak Sita di malam dansa tersebut. “Saya ingat pesta terakhir di tahun 1956 sebelum saya berangkat ke Bandung. Waktu itu Nurul mengenakan baju bodo merah, sehingga warna pipinya tampak lebih menyala cemerlang” kenang om Sammy. Tante Nurul tak menyangka om Sammy bisa mengingat busana yang dikenakannya padahal ia sendiri sudah lupa. Om Sammy menambahkan bahwa walaupun hati mereka terpikat kepada kecantikan Nurul, tapi tidak ada yang berani mendekati atau menyatakan isi hatinya karena selain turunan bangsawan, dia adalah anaknya pejabat tinggi di kantor Gubernur.


Cerita terus mengalir malam itu di tiap sisi dua meja makan bundar yang diletakkan saling berdekatan. Hanya waktu tutup restoran yang menghentikan sua mereka malam itu.



Jalan-jalan Kenangan


Keesokan hari saya bersama lima teman menemani om Sammy dan istrinya Brenda Parkinson. Kami menggunakan mobil dari Matsui Kazuhisa, dosen peneliti dari Jepang, yang cukup banyak membantu memandu perjalanan kami hari itu. Rencananya kami akan mengunjungi beberapa tempat di Makassar. Menjenguk jalan-jalan kenangan om Sammy.


Om Sammy memakai celana pendek dengan atasan baju kaos putih berdesain sablon gambar perahu Pinisi berwarna kuning emas beserta siluet hitamnya. Di bagian dada tertera tulisan Makassar, sebuah kota yang tetap menyimpan berjuta kenangan om Sammy.


Pagi begitu cerah saat kami memulai perjalanan di depan hotel Pantai Gapura, tempat om Sammy dan istrinya menginap. Kami menyusuri Jalan Pasar Ikan, Jalan Nusantara, berbelok ke lalu berbelok ke Jalan Sangir.


Menurut penjelasan om Tommy semalam, jalan dari rumah om Sammy yaitu Jalan Matjiniajo telah diubah jadi Jalan Sangir. Pak Amir yang memegang kemudi memperlambat laju mobil yang kami tumpangi ketika menyusuri jalan tersebut. Om Sammy pun coba mengingat-ingat letak pabrik kecap yang ia ceritakan dalam tulisannya berjudul Es Putar, Lek Tou Sa, dan Bundu' Patte'” dan lorong buntu di mana rumahnya berdiri.


Om Sammy mengingat persis letak pabrik dan lorong buntu yang kini telah ditutup, meski ia sempat bingung karena keadaan jalan tersebut telah berubah. Letak keduanya memang berdekatan dengan Bulekang Straat yang kini bernama Jalan Bacan. “Dulu rumah-rumah hanya berlantai satu di jalan ini, tapi sekarang sudah ada sampai lantai tiga,” katanya sambil tertawa. Tak jauh di seberang jalan dari lorong itu letak dari rumah teman sepermainan om Sammy bernama Sabir Syiwu.


Kami menemui Jalan Irian di ujung jalan. Setelah menyeberangi Jalan Irian, kami mendapati Jalan Diponegoro, sudut kanannya sudah tak terletak lagi Sekolah Chung Hwa. Di sudut itu sekarang telah berdiri sebuah bangunan rumah toko yang tiap malam menjajakan serabi. Chung Hwa adalah sekolah terbesar pada zaman itu dan terbuat dari beton bertulang. Om Sammy mengingat ketika sekolah itu sedang dibangun anak-anak di kampung Melayu selalu bermain ayunan dengan tali-tali yang ada di situ meniru gayanya Tarzan. Malah anak dari penjaga bangunan itu yang hampir sebaya dengan dia telah melemparkan pisau lipatnya ke sebuah papan, tapi tidak tertancap, melainkan mental dan malah tertancap di kaki om Sammy tepat di tempurung lututnya sehingga sampai sekarang masih tampak bekas lukanya.


Tidak jauh dari perempatan Jalan Sangir dan Irian dulu terdapat pabrik es Bien Sang Hang, satu-satunya di kota Makassar, demikian tutur om Sammy. Pabrik es itu buruhnya bekerja siang malam untuk mensuplai es-es balok ke seluruh Makassar.


Tidak jauh dari Sekolah Chung Hwa itu terdapat kampung Jera atau kuburan Cina, yang sekarang sudah menjadi kompleks Pasar Sentral, di sana om Sammy dengan Sabir Syiwu sering bermain layangan atau menangkap ikan di kolam yang terbentuk karena lobang akibat bom yang jatuh di situ pada zaman Jepang.


Dulu di Jalan Diponegoro terdapat sebuah rumah yang menyewakan sepeda untuk anak-anak. Om Sammy bersama teman-temannya sering menyewa di tempat tersebut. Pada satu waktu ketika menyeberangi jembatan beton yang tidak ada terali pada pinggirannya, dia terjatuh dengan sepedanya kedalam got besar yang dilintasi jembatan itu. Kakinya hampir patah dan roda depan sepeda itu menjadi seperti angka 8, demikian tuturnya. Tapi dia tidak dituntut mengganti kerugian oleh pemiliknya yang sudah sangat bersyukur langganannya itu tidak patah kaki, tangan atau pecah batok kepalanya.


Perjalanan selanjutnya menuju Pelabuhan Paotere yang merupakan pelabuhan pertama di Makassar. Panas matahari sungguh menyengat kulit. Pak Matsui menawarkan om Sammy topi rimba, membuat penampilannya bak turis dari Negeri Sakura di kota sendiri.


Perjalanan selanjutnya menuju Pelabuhan Paotere yang merupakan pelabuhan pertama di Makassar. Panas matahari sungguh menyengat kulit. Pak Matsui menawarkan om Sammy topi rimba, membuat penampilannya bak turis di kota sendiri.


Kami bercakap dengan beberapa nelayan yang baru saja pulang menangkap begitu banyak gurita kecil. Pak Matsui mengatakan kalau daging gurita sangat lezat disantap mentah dan dicelupkan ke dalam mangkok berisi cuka dan kecap asin. Saya tidak pernah memakan sea food dalam keadaan mentah. Tapi setahu saya orang Jepang memang senang menyantap ikan mentah-mentah. Selain kadar protein yang lebih tinggi juga rasa yang menurut mereka lebih enak daripada harus dimasak terlebih dahulu.


Usai menyaksikan aktivitas nelayan di bibir pelabuhan, pak Matsui dan om Sammy terlibat percakapan mengenai bahasa yang digunakan saat masa penjajahan. Ternyata dulu bahasa Indonesia hanya digunakan di Jawa saja. Sedangkan di Makassar, orang-orang hanya diakrabi oleh bahasa Makassar sebagai bahasa ibu, bahasa Belanda, dan bahasa Jepang.


Di tengah perbincangan, om Sammy mengeluarkan sebuah harmonika dari dalam saku kiri celananya. Seketika ia memainkan beberapa nada dengan sangat lincah. Pak Matsui langsung berkomentar. “Saya ingat lagu itu!” serunya. Rangkaian nada yang dikeluarkan oleh harmonika om Sammy merujuk pada lagu militer Jepang berjudul Mioto Kaino.


Menurut om Sammy, waktu Jepang menjajah Indonesia lagu ini wajib dinyanyikan tiap hari oleh anak-anak di mana-mana guna memberi semangat untuk angkatan laut Jepang. Namun menurut pak Matsui, lagu ini dilarang lagi dinyanyikan di Jepang karena akan mengingatkan pada kekerasan militer.


Selepas dari Paotere dan menuju Akkarena, om Sammy bercerita semasa kecil, bos dari ayahnya, Narumi-san pernah ingin mengangkatnya sebagai anak dan membawanya ke Jepang. Kedua orang tuanya menyetujui saja permintaan orang Jepang tersebut, tapi sang nenek melarang. “Mungkin kalau nenek saya tidak melarang, sekarang saya sudah jadi orang Jepang. Dan mungkin tidak akan hadir bercerita di sini,” katanya. Dalam kesempatan ini pula om Sammy bercerita tentang rasa simpati dan kagumnya terhadap tante Nurul dan Yotje Yo, teman lamanya yang semalam juga hadir dalam acara reuni. “Tapi karena mereka tidak tertarik kepada saya, maka saya terpaksa mencari “barang impor”," katanya berkelakar.


Selain itu, ada pula cerita tempat mandi-mandi favoritnya yaitu di sekitarjambatang bassia, letaknya di pelabuhan kapal-kapal kecil dengan tujuan pulau Khayangan. Dulu pantai di sekitar jembatan itu masih bersih jadi anak-anak suka mandi-mandi di sana. “Di sana kami biasa mandi-mandi sambil menyanyikan lagu berjudul Bulang Sappara’,” kata om Sammy yang kemudian menyanyikan sepenggal syair lagu itu. Di antara kami tak ada yang kenal lagu tersebut sehingga memilih untuk diam dan mendengarkan.


Om Sammy juga terkenang saat menjadi pramuka laut dan berkemah selama hampir seminggu di pulau Lae-lae, dan pada satu hari ia dengan seorang teman lainnya yang sama kecilnya disuruh pemimpin mereka menyeberang ke Makassar memakai perahu lepa-lepa yang kecil pada senja hari untuk membeli beras, ikan asin dan sayuran ke pasar Kampung Baru, karena perbekalan mereka habis. Di tengah laut perahu mereka terbalik sehingga mereka tercebur ke dalam laut, sehingga mereka menangis ketakutan memikirkan akan dijadikan mangsa oleh ikan hiu. Dan setelah susah payah, mengeringkan perahu itu, mereka berhasil naik kembali dan tiba dengan selamat di pulau itu, walaupun beras mereka sudah menjadi asin karena terendam air laut, dan ikan asin mereka sudah hampir menjadi bubur.


Ketika melewati Jalan Sulawesi, om Sammy bercerita bahwa dulu jalan ini begitu ramai sehingga orang-orang mengandaikannya sebagai Wall Street di kota New York, Amerika Serikat. Tapi mobil belum begitu banyak tempo itu. “Di tahun 1964 selain mobil tentara, hanya ada 27 mobil “preman” di Makassar ini,” kata om Sammy.


Di Akkarena kami menggelar makan siang. Selain nasi dan lauknya, kami membawa onde-onde, sanggara belanda, roko-roko unti, barongko, dan songkolo katarang. Sambil memakan kue-kue tradisional tersebut, om Sammy bercerita perihal bagaimana ia menjalankan tugas memasak di rumahnya.


“Istri saya pernah memasak masakan Indonesia tapi pas saya coba, rasanya tidak enak, terlalu asin dan tidak tahu menggunakan bumbu-bumbu lainnya. Jadi saya bilang biar saya saja yang masak, kamu yang menyiapkan bahan-bahannya, serta mencuci piring. Tapi kalau salad atau pasta ia bisa. Saladnya enak!” kata om Sammy memuji masakan istrinya. Om Sammy juga memuji kerendahan hati istrinya yang walaupun seorang dokter spesialis tapi selalu dengan rela mencuci serta menyeterika semua pakaian mereka. Bahkan menyapu dan membersihkan rumah pun semuanya dilakukan oleh istrinya.


Tante Brenda hanya diam saja karena tak terlalu mengerti bahasa Indonesia sehingga om Sammy menerjemahkannya. Ia melanjutkan cerita tentang istrinya, “Sebenarnya saya sudah mengajarkan bahasa Indonesia kepada istri saya ini tapi ia tetap kurang ajar,” kata om Sammy bercanda yang membuat kami tertawa. Buru-buru pula ia menerjemahkan apa yang barusan ia katakan kepada istrinya. Sebelum memulai perjalanan hari ini, mereka memang punya kesepakatan, tiap satu menit berbahasa Indonesia, om Sammy harus menerjemahkannya untuk menghindari ketersinggungan.


Sambil menikmati santap siang, kami juga membahas tentang beberapa perbedaan-perbadaan dan persamaan-persamaan dalam berbagai agama, seperti Yahudi, Kristen, Islam, Buddhis dan Taois yang rupanya didalami oleh om Sammy pada saat mengambil strata satu di bidang Teologia dan Bahasa Inggris. Setelah itu kami memberikan komentar tarif masuk ke tempat ini yang cukup mahal yaitu Rp 4.000,- per orang. Tarif masuk ini sebenarnya tak masalah bila diimbangi dengan fasilitas yang memadai, tapi ternyata di dalam tak ada pelayanan atau objek wisata yang memikat apalagi jaminan asuransi.


Dua teman saya memuutuskan untuk tidak ikut dalam perjalanan lagi karena keperluan lain. Dan kami yang tersisa berkunjung ke benteng Somba Opu. Pak Matsui lebih banyak memandu kami menyusuri salah satu situs sejarah ini. Dia cukup tahu lika-liku jalan benteng ini karena telah berkali-kali mengunjunginya. Setelah itu, ia mengajak kami menengok sungai Jeneberang yang berada tak jauh dari benteng.


Tujuan kami selanjutnya adalah Balla Lompoa, yaitu bekas istana Raja Gowa dizaman dulu. Saat menyusuri Jalan Gowa Raya, om Sammy menceritakan tentang seorang perempuan yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga mereka bernama Daeng Lenteng, yang dianggap olehnya sama seperti ibu kedua karena selalu mengurus dia dengan adiknya sedari kecil, tapi kemudian sudah menikah dengan Daeng Gassing dan tinggal di Mawang, kabupaten Gowa.


Karena merindukan Daeng Lenteng, suatu hari om Sammy bersama temannya, Sabir Syiwu memberanikan diri mencari perempuan tersebut. Mereka mengayuh sepedanya di jalan ini, bertanya di sana-sini, hingga akhirnya menemukan rumah Daeng Gassing. “Tapi setelah pulang kami dimarahi oleh orang tua karena dulu daerah ini menjadi tempat pembantaian orang-orang Jawa dan Ambon oleh para gerombolan, dan beberapa kali terjadi penculikan anak-anak yang dimintai tebusan yang tinggi,” tutur om Sammy, berkisah.


Di Museum Balla Lompoa, kami banyak melihat benda-benda peninggalan kerajaan Gowa. Banyak hal yang membuat tante Brenda tertarik mengambil gambar dengan kamera digital sakunya, seperti lamming pengantin, silsilah kerajaan Gowa, dan lukisan-lukisan Raja Gowa. Sedangkan pak Matsui mendapatkan satu pengetahuan baru dari kunjungan kali ini yaitu aksara lontara ternyata ada versi lamanya yang mirip dengan katakana dan hiragana bahasa Jepang, yaitu terdiri dari suku-suku kata, seperti “ka ga ta wa na” , sedangkan dalam bahasa Jepang juga adalah “ka ke ku ke ko”, “na ne nu ne no”, begitu.


Situs sejarah terakhir yang kami kunjungi adalah Fort Rotterdam. Saat menuju ke sana, tepatnya di penghujung Jalan Kartini, om Sammy menunjukkan letak bioskop Empress dan Taman Gembira yang berada tak jauh dari Gereja Katedral di Jalan Kajaolalido. “Tapi Taman Gembira itu namanya saja yang gembira, tapi pas pulang dari situ tidak gembira karena banyak kutu busuk yang menggigit,” ujar om Sammy, membuat kami tertawa seketika.


Ayah salah seorang teman om Sammy dulu adalah pemilik bioskop Sirene di Jl. Patunuang, sehingga ia dan temannya bisa masuk menonton di bioskop mana saja. Bahkan seringkali kalau hari Minggu bisa sampai nonton tiga film dalam satu hari. Namun menurut om Sammy, untuk film 17 tahun ke atas, anak-anak hanya bisa masuk ketika lampu studio telah dimatikan. “Polisi waktu itu masih ketat berjaga di bioskop. Anak-anak di bawah usia 17 tahun akan dilarang untuk menonton,” kata om Sammy.


Di Fort Rotterdam, om Sammy dan istrinya kali ini lebih banyak berkeliling benteng bersama seorang pemandu. Setelah puas berkeliling di benteng yang dulu bernama Jungpandang itu, kami mengantar tante Brenda pulang beristirahat di hotel sedangkan mobil masih melaju ke kediaman pak Matsui di Jalan Perintis Kemerdekaan. Dahulu Jalan Urip Sumoharjo dan Jalan Bawakaraeng masih satu nama dengan jalan ini yaitu Jalan Maros.


Dalam perjalanan ke rumah pak Matsui, pagi yang tadinya cerah kini telah mendung di sore hari. Sepanjang jalan ini, om Sammy bercerita tentang siklus hujan yang dulu teratur di Makassar. “Kalau dulu di musim kemarau, pagi hingga sore hari itu cerah, jadi air-air menguap dan sore hari hujan turun. Sekarang terlalu banyak penebangan oleh manusia jadi siklus hujan menjadi tak teratur lagi seperti dulu,” jelas om Sammy.


Malam hari tinggal saya dan seorang teman yang menemani om Sammy. Kali ini kami makan malam di Makassar Suki di Jalan Bali, dengan dua orang teman lama om Sammy yaitu Tommy Ong dan Eric Salimin. Mereka mengajak istri masing-masing.


Di Makassar Suki kami bertemu dengan mbak Sita dan ibunya. Ternyata masih ada teman mereka yang datang waktu itu untuk bernostalgia, yaitu pak Ronny Rondonuwu, dan pak Kemal Burhanuddin, bupati di Pangkep. Tak lupa mereka mengabadikan momen tersebut.


Seusai makan malam, kami masih melanjutkan cerita di ruang tamu restoran tersebut. Om Eric bercerita tentang profesinya di kala masih muda. Menurut penuturannya, dulu barang masih langka didapatkan sehingga uanglah yang mencari barang. Pekerjaan om Eric adalah mencari orang-orang yang bisa menyediakan barang di luar Makassar. Tapi mereka waktu itu tidak menggunakan fasilitas telepon interlokal melainkan gelombang radio. “Waktu itu di radio tiap hari ada jam khusus yang disediakan kepada orang Makassar dan Surabaya untuk berkomunikasi. Waktu-waktu inilah yang kami manfaatkan untuk mencari barang. Tapi kami berkomunikasi memakai sandi, misalnya burung untuk semen dan bebek untuk tepung terigu, supaya orang lain tidak tahu apa yang kami bicarakan,” papar om Eric panjang lebar.


Sedangkan om Tommy Ong bercerita sedikit perjuangannya dari bekerja di pelabuhan sebagai kuli hingga bisa mendirikan sebuah perusahaan transportasi di Surabaya dan sebuah cabang di Jakarta. Saya sangat terkesan dengan kisahnya di suatu hari. “Pernah saya selesai kerja di pelabuhan jam setengah tiga pagi. Setelah itu saya duduk di depan pantai. Saya berkata, “Tuhan, saya tidak capek. Saya bangga dengan pekerjaan saya. Cuma satu saya minta Tuhan, kalau usia saya sudah tidak mampu mengerjakan pekerjaan ini, maka berikanlah pekerjaan yang masih mampu untuk saya kerjakan.” Pagi hari saya terjaga dan mendapati baju saya basah oleh air mata,” tutur om Tommy bercerita, membuat saya kagum akan kesederhanaan pikirannya.


Om Sammy sempat tertidur di kursi tamu restoran tersebut. Hari ini memang cukup melelahkan. Tapi ada begitu banyak pengalaman berharga hari ini dari mendengar kisah orang-orang yang lebih dulu hidup dalam kesederhanaan kota ini. Kisah-kisah yang dalam benak saya tergambar seperti potret hitam putih yang telah berubah sepia, namun saya yakin dalam benak mereka, kenangan itu begitu penuh warna.(p!)



*Citizen reporter Nilam Indahsari dapat dihubungi melalui email nilam_indahsari@yahoo.com


Courtesy: Panyingkul!



No comments: