Wednesday, April 13, 2011

Panyingkul! untuk Ubud: Puisi dan Opini di Ruang Laboratorium

Tim Panyingkul! ikut mengisi sesi workshop di Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) yang berlangsung di Ubud, Bali 14-19 Oktober 2008. Citizen reporter Nilam Indahsari menuliskan catatan tentang workshop Citizen Journalism dan apresiasi puisi di SMPN 1 Ubud. UWRF, acara skala internasional yang menggelar begitu banyak program komunitas bagi masyarakat Ubud. (p!)


Semerbak kamboja dan dupa meruak .Wangi ini bersumber dari canang sari yang diletakkan di salah satu anak tangga SMP Negeri 1 Ubud, Bali. Sekolah yang terletak di Jalan Raya Ubud ini dibangun agak tinggi dari permukaan jalanan sehingga mengharuskan kami menaiki beberapa anak tangga terlebih dahulu.


Di halaman sekolah, ada sekitar 20 siswa sedang bermain. Sehelai kelopak bunga terapit di antara telinga dan kepala anak laki-laki. Sedangkan anak perempuan biasanya menaruh bunga kamboja di pangkal kepang rambutnya.


Sabtu, 18 Oktober 2008, dua kelas workshop digelar di sekolah ini. Tiap penulis yang terpilih dalam Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) memiliki kesempatan untuk membuat workshop mereka masing-masing. Kegiatan ini adalah persembahan bagi masyarakat Ubud dengan tujuan agar mereka bisa merasakan manfaat kehadiran ratusan penulis dan pencintan sastra dari dalam dan luar negeri. Lily Yulianti Farid, pendiri Panyingkul!, ikut dalam penulis terseleksi festival tahun ini. Ia berinisiatif menggelar workshop untuk memperkenalkan genre jurnalisme warga dan apresiasi puisi ke murid di sekolah ini.


Di depan sebuah kelas, kami menemui seorang relawan UWRF. Ia lalu memandu ke laboratorium Biologi, yang akan kami tempati untuk menggelar workshop. Memasuki ruangan, tampak di hadapan kami seorang siswa berdiri dengan sebuah buku kumpulan puisi karya Amir Hamzah. Ia membacakan “Padamu Jua”. Seisi kelas hening. Sesaat kemudian tangan-tangan riuh menepuki akhir pembacaan puisi.


Apresiasi puisi telah dimulai saat kami masuk ke dalam kelas. Seorang lelaki berparas Indo mengambil alih suasana kelas. Namanya Kadek Khrisna Adidharma, Koordinator Program Indonesia UWRF 2008. Ia memandu siswa di kelas ini untuk menginterpretasi puisi yang baru saja dibacakan oleh teman mereka. Setelah itu, seorang lelaki Papua bernama John, tampil membawakan dua puisi. Satu di antaranya merupakan karya pribadinya yang dibacakan dengan prolog nyanyian khas rakyat Papua.



Mengenali Kepentingan


Khrisna menyerahkan waktu dan tempat kepada kami setelah John membacakan puisi untuk kelas tersebut. Lily mulai mengisi pembicaraan. Ia memberi perkenalan ringkas tentang Panyingkul! dan bagaimana warga menulis kehidupan mereka yang memiliki gaung sama dengan orang lain di website ini. Lalu ia menanyai kelas tentang jenis-jenis tulisan yang pernah mereka pelajari dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Pembahasan agak panjang saat membicarakan jenis tulisan opini dan puisi.


Oktober ini padi-padi menguning di pematang sawah sepanjang Ubud. Untuk menyambut panen, ritual diperbanyak di pura untuk mengucap syukur kepada Dewi Sri. Tiap menjelang magrib, orang Bali berbondong-bondong menuju pura. Para perempuan berkebaya Bali dengan selendang khas di pinggang. Sedangkan lelakinya memakai kemeja putih dengan bawahan sarung dan kain yang dilipat-lipat di kepala a la Bali. Sebagian besar dari mereka berjalan kaki, mengambil separuh badan jalan. Jadilah kemacetan di sepanjang jalan yang memiliki pura.


Tapi ini tak dikeluhkan oleh para siswa. Kemacetan ini sudah menjadi semacam rutinitas di Ubud. Yang menjadi perhatian mereka malah kemacetan yang timbul di beberapa tempat penyelenggaraan festival. Selain itu, ada juga yang berpendapat tingkat keamanan selama festival berkurang.


“Musik di Bawah Bintang” yang digelar di Jalan Monkey Forest, merupakan rangkaian UWRF tahun ini menimbulkan keluhan tersendiri bagi siswa. Sedianya, pagelaran musik yang dikonstruksi di atas lapangan sepak bola Ubud ini bertujuan menghibur kawula muda dengan berbagai atraksi seni. Namun, seorang siswa yang tinggal di sekitar lapangan bola tersebut, malah mengeluh karena kebisingan yang ditimbulkan dari pengeras suara. Dan di mata seorang siswa lain, panggung musik tersebut telah menghalanginya untuk melakukan hobinya.


“Tidak bisa main bola karena lapangannya dipakai untuk konser musik,” keluh seorang siswa dengan aksen Bali yang kental.


Kuatnya pengaruh industri pariwisata terhadap perekonomian rakyat Bali, membuat sebagian siswa berpikir kalau semua itu memang risiko dari sebuah perhelatan. Ketergantungan ini menggiring mereka kepada opini bahwa festival ini bermanfaat untuk menambah penghasilan masyarakat yang bekerja di sektor informal di sekitar tempat festival berlangsung.


Setelah mengajak siswa mengenali kepentingan-kepentingan mereka yang terganggu dengan adanya festival, Lily lantas mengajak mereka merangkai opini-opini itu jadi sebuah berita pendek. “Ini bisa menjadi masukan kepada penyelenggara festival, bahwa dengan adanya konser musik, kalian tidak bisa bermain bola. Mungkin mereka nanti akan mencari lokasi lain. Tapi sepertinya, susah untuk mencari tempat lain. Setidaknya, suara kalian bisa menjadi pertimbangan bagi mereka,” kata Lily.



Puisi, Sang Primadona


Semalam sebelumnya, di restoran Bebek Bengil di Jalan Pengosekan, kami menyaksikan bagaimana orang-orang riuh mengapresiasi puisi. Beberapa orang mendaftarkan diri dalam lomba pembacaan puisi bertema “Sentak Syair Better Read than Dead”. Ini salah satu acara favorit UWRF yang hadiahnya mulai dari menginap di hotel bintang 5 hingga koleksi CD yang disiapkan panitia. Lily ikut menjadi juri di acara heboh ini. Setiap peserta wajib membaca puisi maksimal 2 menit. Lebih dari itu, mereka kena denda. Puisi sebagian besar dipentaskan dalam bahasa Inggris, penyair Indonesia yang ikut hanya bisa dihitung jari. Meriah sekali. Apresiasi puisi semacam ini sangat jarang kami dapatkan di Makassar.


Puisi memang menjadi primadona di UWRF. Di acara pembukaan dan penutupan, di pesta-pesta makan malam di sejumlah rumah warga Ubud, di parade karya hingga di workshop, apresiasi puisi selalu dinanti. Dalam workshop Panyingkul! kami menyediakan satu sesi juga untuk pembacaan puisi. Luna Vidia, salah seorang jurnalis warga di Panyingkul!, ikut membantu workshop kali ini.


Angin adalah bunga kamboja yang berguguran.

Angin adalah kabar yang dibawa dari laut.


Dua kalimat itu adalah konsep Luna terhadap angin. Ia menekankan bahwa dalam puisi, “Kata adalah perjalanan panjang.”


Sesudah itu, Luna membagi lembaran draft antologi puisinya. Ia berjalan menyusuri tiap bangku di kelas, meminta tiap siswa membaca puisinya. Ada yang bersemangat ingin membacakan tapi ada pula yang malu-malu. Ketika ada yang tidak mau membacakan, Luna menggantikannya membaca.


“Lebih baik berkata tidak mau daripada mengatakan tidak bisa untuk membaca sebuah karya puisi. Itu membuat penulis merasa lebih dihargai,” ujar Luna.


Tanpa terasa workshop 2 jam usai. Tiga peserta yang dianggap paling aktif mendapat hadiah buku yang disiapkan panitia UWRF. Saat bubar, terdengar percakapan anak-anak itu yang berjanji bergiliran membaca antologi yang dihadiahkan itu. Sebuah kelas literasi dan apresiasi puisi yang menyenangkan.


UWRF memang acara berskala internasional bertaburan penulis ternama. Tapi di tengah-tengahnya terdapat begitu banyak rangkaian kegiatan bersahaja, yang tujuannya sebagai persembahan bagi penduduk Ubud dan seluruh pencinta sastra. Pintu UWRF terbuka selebar-lebarnya untuk turut serta, bagi siapa saja. Saya larut di dalamnya.(p!)



*Citizen reporter Nilam Indahsari dapat dihubungi melalui email nilam@panyingkul.com


Courtesy: Panyingkul!

No comments: