Bila keluarga modern di kota-kota besar berlomba-lomba mencari playgroup yang canggih dan mahal bagi anak-anak balita mereka, di Kabupaten Bone, sejumlah warga menggali modal sosial untuk menyiapkan taman bermain bagi balita di dusun. Dengan dukungan dari Unicef dan Depdiknas, warga berpartisipasi membantu pengembangan anak-anak usia pra-sekolah, seperti yang dilaporkan citizen reporter Nilam Indahsari berikut ini. (p!)
|
Langit telah jingga di ufuk barat saat sebuah mobil Kijang hijau yang saya tumpangi berhenti di depan sebuah rumah. Rumah itu terletak di Karoppa, salah satu dusun di Desa Turu Adae, Kecamatan Ponre. Jaraknya sekitar 80 kilometer dari kota Watampone. Pengemudinya menyarankan saya dan seorang teman peneliti lainnya, untuk turun di tempat ini. Si empunya rumah ternyata telah menunggu kedatangan kami sedari siang. Kedatangan kami memang telah dikoordinasikan lebih awal untuk menganalisa kebutuhan pelaksanaan program Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). PAUD merupakan program kerja sama antara Pemerintah Indonesia dengan Unicef yang menargetkan anak-anak usia 0 - 6 tahun. Program ini didasari oleh temuan bahwa kecerdasan otak manusia berkembang 50 persen di usia 1 - 4 tahun dan selebihnya pada usia 4 - 18 tahun. Selain memberi stimulasi dini kepada anak dengan permainan, program ini juga memerhatikan sisi kesehatan dan asupan gizi anak dan ibunya. Untuk langkah awal di Sulawesi Selatan, diambil 2 kecamatan di Kabupaten Bone untuk percontohan yaitu Kecamatan Dua Boccoe dan Ponre. Pendanaannya ditalangi oleh Unicef, Departemen Pendidikan Nasional, dan partisipasi masyarakat sendiri. Namun Unicef hanya mendampingi selama 3 tahun, selanjutnya akan diserahkan sepenuhnya ke masyarakat. Pusat pelaksanaan PAUD di Sulsel dinamakan Taman Paditungka. Paditungka berakar dari kata pada dan tungka, bermakna dipelihara dan dirawat bersama-sama. Di dusun ini namanya Taman Paditungka Mamminasae. Di Mamminasae, selain fungsi play group dan TK, ada juga posyandu. Sekadar catatan, Taman Paditungka didirikan di dusun yang tidak memiliki TK untuk menghindari kecemburuan pihak TK. Seorang perempuan bernama Hamsina yang juga kader di taman ini, mengajak kami bermalam di rumah kepala dusun. Katanya, tamu yang berkunjung di dusun ini harus menginap di rumah Pak Tola, si kepala dusun. Keesokan pagi, ibu kepala desa mengunjungi kami. Sebagian kader yang mendampingi anak-anak di Paditungka juga telah berada di lego-lego. Sesaat kemudian kami sama-sama menuruni tangga menuju pusat PAUD yang berada di pekarangan depan rumah Pak Tola. Sebelumnya, saya tak pernah membayangkan tempat seperti ini ada di dusun. Di Makassar, tempat seperti ini biasanya saya temui di salah satu jajaran rumah toko. Dan sepengetahuan saya, uang mukanya bisa memakan biaya berjuta-juta. Di Mamminasae, anak-anak bermain dan belajar pada Senin sampai Rabu, dari jam 8 hingga 10 pagi. Sayang, kami tiba Rabu, 7 November, sore. Pasti lebih seru jika mereka hadir bermain dan bernyanyi di tempat ini. Tapi suasana berubah menjadi sedikit riuh ketika Hamsina membawa seorang anak perempuan bernama Afrini, 3 tahun, masuk ke dalam kelas. Para kader meminta anak tersebut bernyanyi. Awalnya ia malu-malu, namun lama kelamaan anak itu mulai bergoyang dengan lincah. Dan akhirnya ia bernyanyi sendiri ketika para kader menyanyikan Mars Paditungka yang diciptakan oleh kader dari Taman Paditungka MulamenreE yang terletak di Desa Mappesangka. Di Paditungka, pendidikan tak mesti mahal bagi anak-anak dusun. Para kader membantu anak-anak untuk tetap bermain dengan memanfaatkan bahan dari alam. Seperti saat bantuan berupa block grain dari Unicef belum tiba, para kader telah membuat beberapa permainan sendiri. Untuk mengenalkan warna misalnya, mereka berinisiatif membuat tabung-tabung dari balok kayu. Tiap tabung kemudian dicat dengan warna berbeda. Permainan lain yaitu mewarnai gambar dengan cara menempelkan ampas kelapa yang telah diberi zat pewarna lalu dikeringkan, ke atas kertas yang telah ada gambarnya. Ada pula permainan tradisional bernama kaje-kaje yang dibuat dari dua tempurung kelapa yang terbelah bercat biru dan disambungkan ujungnya dengan seutas tali. Kader dari Desa Bolli lebih kreatif lagi, mereka membuat rupa-rupa permainan, seperti helikopter dari tempurung kelapa, miniatur block grain dari kayu, dan congklang. Modal Sosial dan Kadar Individualisme Angin berembus masuk dari celah jendela, berhasil menyentuh klentingan (serupa wind-bells –ed) di langit-langit dan membuatnya bergoyang. Di dalam kelas Mamminasae, kami duduk beralas karpet plastik, mendengar ibu kepala desa bertutur tentang pendirian Taman Paditungka. Para kader tak ada yang mau angkat bicara ketika beliau berbicara, mereka malah cenderung mengiyakan saja. Mamminasae mulai difungsikan pada 6 Desember 2006. Halaman bermainnya berukuran 100 meter persegi, sedangkan bangunan utamanya 6 x 4 meter persegi, semua ini adalah lahan pinjaman dari Pak Tola. Sebagian besar biaya untuk pembangunan taman ini berasal dari hasil penjualan jimpitan yang dipungut dari warga. Jimpitan menjadi salah satu modal sosial warga yang diperuntukkan bagi pengadaan fasilitas di desa atau di tingkat dusun. Mulanya sistem jimpitan dijalankan tiap rumah dengan menyisihkan sejumput beras sebelum mereka memasak. Oleh kelompok dasawisma di tiap dusun, beras tersebut dikumpulkan tiap pekan. Karena pertimbangan efisiensi tenaga, sistem ini kemudian diubah yaitu mengumpulkan 1 liter beras per bulan. Semua warga dusun Karoppa merespons positif pengaliran dana jimpitan untuk pengadaan Mamminasae tahun lalu. Namun belakangan, sebagian warga mulai enggan memberi jimpitan. Alasannya, anak mereka tidak ada yang dididik di sana. Bagai nila setitik dalam sebelanga susu, keengganan dari sebagian kecil warga menular ke beberapa bagian warga yang lain. Kondisi tersebut membuat kelompok dasawisma merasa tidak enak lagi untuk mengumpulkan jimpitan. Meski masih ada sebagian warga yang tetap memberikan jimpitan walau anak mereka tidak dididik di Mamminasae. |
Altruisme Para Kader Hamsina baru saja pulang dari sawah ketika saya bertandang ke rumahnya, tak jauh dari Mamminasae. Saat Mamminasae tak ada jadwal, Hamsina menggarap sawah bersama ibu atau kakak dan iparnya. Hamsina telah lama menjadi orang tua tunggal bagi putranya, meski ia belum cerai dari suaminya yang menetap di Makassar. Karoppa sangat panas siang itu. Tapi di rumah Hamsina banyak pepohonan yang merindangi terasnya. Saya duduk berhadapan dengannya di atas balai-balai kayu, mendengarkan suka dukanya selama menjadi kader. “Awalnya, saya mau menjadi kader karena penunjukan dari ibu kepala desa, hanya itu. Tapi lama kelamaan, saya menemukan keasyikan tersendiri,” kata Hamsina menceritakan alasannya bergabung di Mamminasae. Dari awal pendirian Mamminasae hingga awal November lalu, honor bulanan Hamsina dan teman-temannya belum dibayarkan. Tapi semangat membimbing anak-anak di Mamminasae tak surut. “Sebenarnya kami tak pernah berpikir akan diberikan honor, tapi karena ada tiga orang dari Bappeda Bone yang menjanji, akhirnya kami juga berharap,” tutur Hamsina. Materi--meski tak dapat dinafikkan, bukan menjadi penggerak utama para kader ini bekerja. Hal ini tergambar lebih tegas ketika saya dan teman mengunjungi MulamenreE yang berada tak jauh dari Desa Turu Adae. Hamsina sangat antusias untuk ikut bersama kami, ia ingin melakukan semacam studi banding di MulamenreE. Setelah mengunjungi bangunan MulamenreE, kami diajak makan siang di rumah ketuanya. Ada satu menu yang membuat saya sangat senang yaitu sayur bening segar yang baru dipetik dari kebun belakang, langka saya dapatkan di kota. Setelah rehat, di ruang tamu kami mengobrol dengan para kader. Mereka mengesankan kegembiraannya menjadi kader. “Kalau ketemu anak-anak di jalan dan disapa, “Bu Guru!”, sudah senang sekali rasanya ini hati. Padahal sebelumnya, kita ini cuma di rumah saja bekerja,” ujar salah seorang kader. Sewaktu menyerempet ke pembicaraan honor yang belum cair saat itu, jawaban mereka sama saja dengan Hamsina. Sulit bagi saya mendefinisikan, apa itu sebuah sikap keikhlasan atau kepasrahan semata. Tapi kebingungan itu menjadi jelas ketika kader bernama Irda berkata, “Meskipun tak ada honor, bagi saya itu tak masalah. Saya cuma berpikir, dengan mengajar anak-anak di Paditungka, saya telah berbuat sesuatu untuk bangsa ini.” Saya sedikit terharu mendengar perkataannya. Mereka memang bergerak di tingkat dusun-distrik pemerintahan terkecil dari sebuah negara-tapi pengorbanan mereka adalah nyata. Di Makassar, saat masalah ini dipresentasikan di lantai 9 Hotel Banua 22 November lalu, serentak orang-orang dari Bappeda Bone menyahut kalau honor itu sudah dibayarkan. Mendengarnya, saya bersama seorang teman yang meneliti di Desa MattampaE hanya tertawa kecil. Setelah itu, saya bertanya-tanya sendiri dalam hati, “Bagaimana kiranya kalau presentasi ini tidak digelar?” (p!) *Citizen reporter Nilam Indahsari dapat dihubungi melalui email nilam_indahsari@yahoo.com Courtesy: Panyingkul! |
No comments:
Post a Comment