Wednesday, April 13, 2011

Baliho is Everything bagi Nyonya Caleg


Kursi legislatif lebih banyak dilihat sebagai ladang subur untuk meraup keuntungan daripada ladang tanggung jawab. Tak sedikit dari caleg yang mengupayakan segala macam cara dan sarana untuk mendapatkan kursi tersebut. Baliho-baliho yang dipajang dengan jumlah tak terhitung di seluruh sudut kota, menggerakkan Lily Yulianti Farid dan Luna Vidya mementaskan Nyonya Juga Caleg. Citizen reporter Nilam Indahsari membagi ulasan pementasan berikut ini.p!)


“Prohes ripot Sila. Prohes ripot,” pinta Nyonya Caleg dalam percakapan awal dengan master campaign-nya. Dengan gaya bicara yang ke-inggris-inggrisan, ia meminta kepada Sila progress report atau laporan perkembangan kampanye di lapangan. ‘Perkembangan’ dalam pikiran Si Nyonya adalah seberapa banyak wajahnya telah dicetak di atas lembar vinyl untuk disebar di perempatan kota. Tempat baliho peraih kursi gubernur dan wali kota dipajang dianggap posisi yang sangat strategis. Sang Nyonya wajahnya ada di mana-mana.


Sore itu, kegelisahan Sang Nyonya yang ikut nyaleg diangkat pemonolog Luna Vidya yang membawakan nomor pementasan “Nyonya Juga Caleg”, di hadapan sekitar 200 penonton.


Bagi Nyonya Caleg, baliho adalah segalanya! Inilah media yang dianggapnya berperan penting untuk menggolkan hasratnya menduduki kursi parlemen. Sebab itu, konsep baliho harus betul-betul matang. Bagaimana aura dan inner beautyharus terpancar hingga aksesoris yang melekat di tubuh mempengaruhi pilihan pemilih. “Tahun baru Islam kemarin saya pasang baliho dengan gaya berkerudung, saya pake jilbab model ayat-ayat cinta. Bukan asal bikin! Tidak boleh itu! Saya harus merancang penampilan dengan komprehensif,” jelas sang nyonya tentang salah satu posenya di baliho.


Sila mengikuti keinginan sang nyonya. Meski sebenarnya ia memendam rupa-rupa gerutu. Bagi Sila, baliho bukan segalanya! “Nyonya menganggap urusan baliho itu urusan serius. Urusan pencitraan. Yes, of course. This is all about image. But baliho is not everything,” tegas Sila. Yang lebih penting baginya adalah membangun jaringan pemilih dan mengasah pengetahuan caleg terhadap isu-isu kemanusiaan yang berkembang.


“Nyonya Juga Caleg” ditulis oleh Lily Yulianti Farid dan ditampilkan di Jasmine Room, Hotel Clarion Makassar, dalam acara Monolog, Jazz, dan Dialog Pemilu 2009. Sejak setahun terakhir, Lily dan Luna memang telah berkolaborasi mengangkat isu-isu perempuan ke atas panggung. Proyek pementasan ini dimulai sejak keduanya mendirikan Makkunrai Project pada Maret 2008.


Nomor-nomor pementasan Makkunrai Project diambil dengan mengadaptasi beberapa naskah antologi cerpen Lily “Makkunrai” dan satu cerpen dari Tentrem Lestari “Balada Sumarah”. Namun, kali ini, Lily bereksperimen membuat naskah monolog. Lily mengonsultasikan proses kreatifnya dalam pembuatan naskah ini dengan masukan dari Luna dan banyak pihak lainnya.



Adaptasi Isu Kampanye di Atas Panggung


Panggung adalah cermin. Sebuah ruang untuk berefleksi sekaligus merefleksikan kenyataan. Sebelum “Nyonya Juga Caleg” naik panggung, Lily mengemukakan pementasan ini adalah fiksi. Namun, naskah fiksi tak akan lepas dari peristiwa-peristiwa yang kemudian menginspirasi penulisnya. Ada fakta dan peristiwa yang menjadi dasar dari teks yang ditulisnya.


Riset sederhana dilakukan Lily melalui pengalaman sehari-harinya. ‘Jualan’ caleg yang terpampang di baliho-baliho sepanjang jalan dan iklan mereka yang mendominasi halaman media massa menyerbu matanya tiap hari. Pengalaman yang berulang tiap hari selama masa kampanye membuatnya sampai pada kejenuhan --mungkin juga kejenuhan bagi orang lain. Inilah bahan baku naskah yang ditulisnya.


Nyonya Caleg adalah satu karakter yang dilahirkan Lily dengan merujuk pada sejumlah karakter caleg yang dilihatnya. “Kita bisa melihat jejak benderangnya, misalnya, ia istri bupati, punya sanak keluarga yang juga caleg, memegang posisi penting dalam organisasi, memakai jilbab atau kerudung yang ditujukan untuk pencitraan semata, dan sebagainya. Saya kira karakter ini dapat dengan mudah mengingatkan penonton pada caleg tertentu,” tutur Lily.


“Nyonya Juga Caleg” adalah pertunjukan yang satir. Sang Nyonya adalah caleg masa kini yang menganggap bahwa keberhasilan mendapat kursi parlemen linear dengan berapa banyak baliho yang diproduksi di percetakan. Juga berapa fulus yang telah dikeluarkan untuk membeli ruang di media massa. Menampilkan pose-pose statis yang berusaha mencitrakan diri sebagai orang yang potensil. Atau seberapa banyak friend yang bisa didapatkan di jejaring sosial di berbagai media, termasuk dunia cyber.



Di Antara Mata Celik dan Tak Celik Teater


Makkunrai Project pada pementasan kali ini secara sadar mengusung Nyonya Juga Caleg di luar gedung kesenian, komunitas kesenian dan sekaligus mengajak media dan Mangara Jazz Project tampil bersama. Sebelumnya, panggung ditata di tempat yang tak jauh dari riuh rutin kesenian seperti Galeri Cipta II Jakarta atau Societeit de Harmonie Makassar. Pemilihan lokasi ini berpengaruh pada peluasan jangkauan penonton yang hendak disasar Makkunrai Project. Kehadiran Nyonya Caleg di Jasmine Room menjadi magnet bukan hanya bagi penggiat teater, tapi juga masyarakat umum dengan latar berbeda yang melakukan reservasi sebelumnya.


Dalam diskusi pascapementasan dengan Lily, 5 April lalu, Luna mengemukakan beberapa kritikan yang dilontarkan sejumlah seniman yang ikut menyaksikan aktingnya. Mereka adalah orang-orang yang telah begitu akrab dengan dunia pentas. Kritikan pertama perihal interaksi Luna yang cukup banyak dengan penonton. Jarak panggung dengan penonton memang dekat. Sehingga penonton terpancing berdialog sejak percakapan awal babak I yang sengaja didesain.


Porsi interaksi itu kemudian meluap sehingga Luna harus berimprovisasi sana-sini. Kelebihan porsi inilah yang kemudian dinilai Asdar Muis, bahwa Luna lebih tampil sebagai ‘pelawak’ di atas panggung, bukan ‘pemain teater’. Namun Rodjak, pemeran Petta Puang, mengaku kagum pada tata lampu follow shoot yang sengaja dipilih Luna. Sebuah pilihan yang berani.


Tapi, pendapat Asdar bagai keping paradoks di pelupuk mata penonton. Penonton awam justru terhibur dan jadi begitu karib dengan Sang Nyonya. Jikalau Luna menjadi caleg yang berkampanye dengan menempuh jalan teater, maka ia bisa saja mendapat suara banyak dari balik bilik suara. Respons terhadap celetukan-celetukan jenaka yang diselipkan penonton selama kurang lebih 50 menit durasi pementasan telah menciptakan komunikasi verbal hangat nan kocak dalam ruang pentas.


Sebagai penulis naskah, Lily menganggap bahwa tawa, tepukan tangan, ataucoddo’ penonton di tengah pementasan sebagai keberhasilan tertangkapnya pesan yang ingin ia sampaikan. “…yang terpenting adalah pesan saya sampai pada penonton. Saya ingin mengajak orang menertawai sirkus politik yang tengah terjadi...,” kata Lily menanggapi hal ini.


Kritik kedua dilayangkan oleh Shinta Febriany. Perempuan yang setia mengeksplorasi ‘tubuh’ di panggung ini menilai Luna kurang menguasai blockingdan mencatat bahwa sang nyonya belum betul-betul terbangun karakternya, tapi sudah harus dimatikan dan berganti dengan Sila, sang manajer. Tak seperti Nyonya Juga Caleg, dalam nomor sebelumnya seperti “Makkunrai”, dialog dirancang berbalas-balas antara satu karakter dengan karakter lain. Menurut saya, model dialog seperti ini rumit karena untuk menarik garis tegas antara satu karakter dengan karakter lain berjeda tipis. Namun, kadang, begitulah karya seni, semakin rumit ia dikerjakan, semakin besar pula daya pukaunya terhadap penonton.


Karakter Sila dianggap Shinta sebenarnya tak perlu. “Nyonya Caleg sudah merupakan klimaks bagi penonton, Sila malah membuatnya menjadi anti-klimaks,” tutur Luna mengutip beberapa masukan yang dicatatnya.


Sepertiga akhir dari total babak yang diisi oleh karakter Sila membuat ruang memang lebih tenang dari sebelumnya. Sila menurunkan sedikit volume suara ruang dengan teks yang kadarnya sedikit serius. Sila menyuguhkan penonton narasi pahit tentang master campaign yang profesional, ada duit, ada upaya dan karenanya caleg perempuan potensil tapi miskin dana, ya apa boleh buat tak bisa banyak dibantu. Mereka kurang populer karena sengitnya kampanye sudah dikendalikan oleh uang yang mampu membeli ruang-ruang massa. (p!)



* Citizen reporter Nilam Indahsari dapat dihubungi melalui email nilam_indahsari@yahoo.com


Courtesy: Panyingkul!

No comments: