MUSIM dingin tengah malam perdana 1994 jadi saksi bisu didentangkannya lonceng kematian bagi petani miskin di Meksiko. Sejak detik itu, pemerintah mereka membuka jalan bagi kekuatan asing dengan memberlakukan North American Free Trade Agreement (NAFTA) antara Meksiko, Amerika Serikat, dan Kanada. Gandum, kedelai, kacang akan tersaji di meja-meja makan dengan rasa asing. Mesin-mesin raksasa investor asing akan menyaingi alat-alat pertanian sederhana petani yang terus-menerus mendapat penekanan subsidi.
Selang dua jam kemudian, sekitar tiga ribu petani ber-dress code baju coklat tua dan balaklava, melumeri jalanan sambil membawa parang dan senjata api. Mereka yang berasal dari Indian Maya kampung dengan aneka etnis dan agama mengejutkan Chiapas dengan aksi pendudukan tujuh kotapraja di provinsi yang terletak di tapal batas utara Meksiko itu. Gerakan ini bernama Ejército Zapatista de Liberación Nacional (EZLN).
Basta! Cukup! mereka lontarkan ke pemerintah Meksiko atas opresi kekerasan struktur yang dialami selama 500 tahun dan 40 tahun masa 'pembangunan'. Ekspresi politis ini ditujukkan bukan karena kurangnya 'pembangunan', malah sebaliknya. Pemerintah dianggap termakan retorika tentang pertumbuhan ekonomi Meksiko dan janji kesejahteraan dari International Monetary Fund serta Bank Dunia. Tapi EZLN berani turun ke jalanan memertanyakan 'kebenaran' semua itu. Selain itu, mereka juga menyuarakan berbagai harapan pula pilihan terhadap 'art of living and art of dying' mereka sendiri.
Aksi gerakan Zapatista di kota-kota utama itu mampu menyihir publik. Tokoh radikal Subcomandante Marcos, pemimpin Zapatista, menggunakan medium internet untuk menyebarluaskan informasi pendudukan mereka ke layar monitor para pejabat dan jurnalis, hingga ke tingkat internasional. Dua tahun kemudian, Pemerintah Meksiko akhirnya melambai-lambaikan bendera putih tanda perdamaian kepada kekuatan gerakan sosial ini.
Satu April 1995, sebuah surat kabar di Perancis Le Monde menerbitkan kembali sebuah surat dari Marcos. Ia berbicara tentang globalisasi, kemiskinan, kematian, perempuan, dan sebagainya. Lelaki yang hidup dari latar keluarga pembaca karya sastra itu membuat surat protes tajamnya mirip sebuah prosa menawan, seperti:
Lies, the universal currency
Lies have become the universal currency, and, in our country, the dream of happiness and prosperity of a few have been woven out of the nightmares of almost everyone else.
Di Indonesia sendiri, komunike-komunike EZLN dan tulisan-tulisan Marcos telah diterjemahkan oleh Ronny Agustinus dan diterbitkan ke dalam tiga buku, salah satunya berjudul Bayang Tak Berwajah.
LELAKI bermata sipit, berkulit putih, dan berambut gimbal menggotong Bayang Tak Berwajah di dalam tas ranselnya. Namanya Panjie, seorang peranakan Cina-Makassar. Ia sedang menyusuri sebuah gang di Jalan Bung, Makassar, suatu sore di bulan Juli 2011. Ia hendak menemui kawan perempuan baru yang ia kenal dari sebuah jejaring sosial dunia virtual.
Sri Rezkhi, nama perempuan itu. Juni tahun ini Rie, demikian ia kerap disapa, menamatkan studinya di Jurusan Arsitektur Universitas Hasanuddin. Ia pelahap buku-buku Y.B. Mangunwijaya—peraih Aga Khan Award for Architecture 1992 atas desain pemukiman di Kali Code, Yogyakarta—yang pertama kali ia kenali lewat tulisannya tentang arsitektur dan spiritualitas.
Petang itu, Marcos yang jauh-jauh datang dari Meksiko diantar oleh Panji ke pondokan Rie.
Membaca komunike-komunike EZLN dan tulisan-tulisan Marcos, Rie merasa disuguhkan sebuah 'tamparan' terhadap praktek pembangunan yang tak jarang melibatkan kaumnya: arsitek. Bank Dunia punya proyek-proyek yang libatkan tenaga arsitek untuk pembangunan, termasuk di desa. Salah satunya sedang digarap oleh Rie dan rekan-rekan arsiteknya di sebuah hamlet di Kabupaten Bone.
Tapi Rie tak berhasil menyelesaikan buku berjumlah 905 halaman itu. Panjie kalah taruhan bola, Ramadan kemarin. Ia harus pasrah buku kesayangannya—yang dijadikannya sebagai barang taruhan—itu berpindah kepemilikan.
JENGKOL tumis itu akhirnya dikunyah Rie, setelah sempat menimbang-nimbang efeknya. “Rasanya enak, seperti kacang,” kata Rie. Saya sendiri memilih untuk tidak menyentuhnya. “Kolesterolnya tinggi,” saya beralasan.
Puisi menjadi benang merah antara saya dan Rie. Kami bertemu dalam sebuah proyek buku antologi puisi independen tentang kondisi sosial ekonomi politik di sekitar kami, bersama 9 perempuan yang lain. Saya yang pernah membaca puisi-puisinya, biasa menemukan kritik arsitektur pembangunan dituangkannya ke dalam medium para pujangga ini. Jengkol itu adalah salah satu pilihan menu jamuan malam kami di rumah seorang kawan se-tim, 13 Desember lalu.
Di salah satu kesempatan malam itu, saya menanyakan tentang rencananya ke Bone yang sempat ia cerita pekan sebelumnya. “Rencana Jumat ini ke Bone hingga Minggu untuk survey lokasi,” jawabnya.
Bersama beberapa rekannya, Rie mendapat proyek hibah dari Bank Dunia baru-baru ini. Proyek itu rencananya dieksekusi di Desa Labempa. “Bank Dunia menetapkan hibah yang mereka beri untuk merenovasi rumah-rumah penduduk di sana yang dinilai kumuh dalam tanda kutip,” ungkap Rie.
Rie memendam ragu akan efektivitas sasaran pembangunan Bank Dunia. Marcos merasuki pikirannya. Bank Dunia dinilainya seperti ahli nujum amatiran. Tanpa persentuhan intens terlebih dahulu, lembaga ini langsung memvonis bahwa kondisi rumah penduduk adalah masalah di desa itu.
Setelah membaca tulisan-tulisan Marcos, Rie sebagai seorang arsitek tak hanya ingin jadi pekerja mekanis saja. Bukan sekadar praktisi. Kemampuan teknis yang ia miliki ingin disalurkan tidak dengan perencanaan pembangunan yang begitu instan. Prinsipnya senada dengan prinsip penulis The White Man's Burden dan pendiri Aid Watch, William Easterly: The right plan is to have no plan. Tim mereka pun masih membicarakan kemungkinan pilihan ini.
“Jangan sampai setelah rumah mereka kami perbaiki, mereka malah kelaparan,” ujar Rie.
Dewi, tuan rumah kami malam itu, menyeletuk, “Jelas penduduk mau-mau saja jika rumahnya diperbaiki.”
Persoalannya, menurut Dewi, kadang kita menganggap sesuatu sebagai masalah adalah juga masalah bagi orang lain. Padahal, dengan kondisi rumah 'kumuh' seperti itu, sejak dulu kehidupan mereka ternyata baik-baik saja. Kemudian orang-orang proyek datang bak 'pahlawan kesiangan'.
“Ada sebuah desa yang masyarakatnya dulu mandi tak memakai sabun. Lantas ketika orang-orang kota datang dan memperkenalkan sabun, mereka akhirnya memakai sabun. Perubahan gaya hidup ini memunculkan kebutuhan hidup baru. Padahal dulu, ketika mereka mandi tanpa memakai sabun, masyarakat itu toh sehat-sehat saja,” tuturnya.
Tuturan Dewi mengingatkan saya saat tinggal di salah satu rumah di Jerowaru, Lombok Timur. Penghuni rumah itu gunakan sabut kelapa untuk membersihkan piring. Kebiasaan saya di kota adalah memakai spons buatan pabrik untuk cuci piring. Waktu itu, saya tak berpikir bahwa memperkenalkan spons—yang selama ini telah terpenuhi fungsinya oleh sabut kelapa--ke dalam rumah itu bisa mengubah kebiasaan dan ciptakan kebutuhan baru (lebih tepatnya 'kebutuhan palsu'). Bedanya, sabut kelapa bisa didapatkan secara gratis dari alam sedangkan spons mesti ditebus pakai uang di warung.
Dewi yang mengambil program master pada studi community development, lantas mengurai pengalamannya bekerja di Lombok Tengah beberapa tahun lalu. Menurutnya, ada tiga pendekatan yang biasa dipakai sebelum memulai pembangunan yaitu pendekatan kebutuhan, masalah, dan potensi.
“Kami memilih pendekatan potensi saat itu,” ungkap Dewi.
Mendengar hal ini, Rie teringat usaha salah seorang seniornya yang berjuang menerapkan arsitektur kerakyatan. Dalam konsep pembangunan fisik berbasis arsitektur kerakyatan, masyarakat diajak menganalisa potensi yang mereka miliki. Setelah analisa selesai, rakyat akan membangun menggunakan potensi milik mereka. Konsep pembangunan ini menghindarkan ketergantungan masyarakat dari bantuan asing.
Percakapan masih berlangsung setelah yang tertinggal hanya tulang-belulang ayam di pinggir piring kami. Tapi tak lama kemudian, kami berhenti setelah tangis bayi Dewi pecah. Rie dan saya pamit pulang. Kami menerobos suasana jalanan yang temaram di kompleks perumahan Telkomas.
Keesokan hari, saya menemukan Rie masih dirasuki Marcos.
No comments:
Post a Comment