"…aku tak bisa berkata apa-apa ketika kulihat mayat seorang anak yang tak jauh dari ibunya yang juga telah membujur kaku. Mungkin ketika tsunami datang, mereka berdua masih erat berpelukan."
Kutipan di atas adalah esai yang ditulis dari buku harian Maya, salah seorang tim Search and Rescue yang ikut dalam evakuasi mayat selepas Tsunami melanda Nangroe Aceh Darussalam, 26 Desember 2004 silam. Maya bersama beberapa penulis dan penyair menggelar sebuah takziah untuk para korban. Sebuah tanda duka.
Mulai dari manusia yang tak berdaya ketika bencana terjadi (Yahya dalam Tragedi Aceh, Ketidakberdayaan dan Keesaan Manusia, halaman 18), sisa cerita kepahlawanan, kesetiaan, dan harga diri Aceh di atas kuburan massal (Ahyar Anwar dalam Metafora dan Sejarah pada Sebuah Aceh, halaman 35), potret manusia yang hanya mengevaluasi diri ketika didatangkan bencana kepadanya (Aslan Abidin dalam Hewan Lebih Tabah dari Manusia, halaman 85), dan tingkah memalukan para wakil rakyat yang masih saja berdebat tentang keputusan pembentukan Tim Nasional Penanganan Bencana Aceh (Ambo Enre Abdullah (almarhum) dalam Airmata dan Kiamat, halaman 117).
Sebuah tulisan juga datang dari Jepang, tempat Tsunami kerap terjadi. Lily Yulianti Farid, penulis yang sementara berdiam di Tokyo, berkisah tentang penyesalan seorang ilmuwan Amerika yang masih me-‘menara gading’-kan ilmunya,…ahli geologi ini ingin meminta maaf karena merasa tidak cukup membagi pengetahuan… (Prof Sieh dan Orang Miskin, halaman 79).
Seperti Maya, Fauzan Mukrim, wartawan Trans TV, menulis reportasenya,…Kota Pelabuhan ini benar-benar hancur… Ada bros kembang masih terpasang di gaun berwarna hitam yang penuh lumpur. Tak jauh dari situ, buku-buku tampak berserakan di mana-mana. Saya membayangkan tempat itu bekas kamar seorang remaja yang selalu ceria dan penuh semangat. Tapi kini Tsunami telah mengakhiri semuanya. Mimpi dan harapan yang tengah dirajutnya itu, kini bercampur bersama puing-puing reruntuhan di bawah kakiku ini. (Tiga Jam Pertama di Meulaboh, halaman 105).
Namun takziah yang digelar buku ini tak seperti takziah lainnya. Tak banyak tahlil yang mengiringinya, tapi diisi lantunan sajak dari beberapa penyair yang lirih bertutur tentang kesedihan. Bercerita tentang kenangan dan doa yang belum terjawab. …/pernah kubayangkan di sini ada sebuah taman/tempat memandang sekumpulan/merpati beterbangan/dan menisik sayap di sela percakapan/…/tapi kini waktu telah memilih usia dan/kota kini punah/ (Ilham Halimsyah dalam Kota Kita Kini Punah, halaman 145) dan …/tepat di garis tebal syaf pertama, ada bocah yang berteriak: amin!/lalu pergi entah ke mana/ (Anwar Jimpe Rahman dalam Aceh: Suara Bocah di Belakang Bilik Imam, halaman 143).
Beberapa sajak juga menjadi pelipur lara mereka yang tersisa dari sapuan maut. Mencoba memberi semangat dan mengingatkan makna kesabaran. Seperti bait terakhir Rachmad Baro,…/Aceh,/Berhentilah berduka/Serambi Mekah janganlah patah/…(Aceh, Berhentilah Berduka, halaman 146) atau Muhary W Nurba, /ininnawa sa’bara’ki/ininnawa sa’bara’ki/lolongeng gare’ deceng/alla, to sa’bara’ ede/…(Aceh, Kujenguk Hatimu, halaman 141).
Menurut sang editor, Muhary Wahyu Nurba, buku ini adalah sumbangan renungan pemikiran para penulisnya sebagai bentuk empati mereka terhadap Aceh. Buku yang diharapkan dapat menjadi tugu ingatan bersama (collective memories), agar bangsa ini tidak menjadi bangsa bebal yang senantiasa gagal dan lupa mengambil saripati hikmah pada setiap kejadian yang menimpa.
Doa-doa serasa telah diterbangkan ke langit dan kita tetap duduk menanti balasannya. Berharap segera semua pulih kembali. Tapi,…/(mungkin memang moyang kami putra nuh yang ingkar, lalu kami terus memanggul tulahnya)/…(Akhmad K Syamsuddin dalam Bah di Meulaboh, halaman 142).
Dan nasib masih bermain teka-teki dengan manusia.
***
Namun ibarat gading, typhograpical error (kesalahan ketik) masih terdapat di beberapa halaman yang menjadi ‘retaknya’. Seperti Srilangka (halaman 12) dan Srilanka (halaman 81) yang seharusnya Sri Lanka. Kesalahan ketik lainnya seperti memurahanNya (halaman 130) yang seharusnya kemurahanNya. Selain itu, halaman 75 dan 84 cetakan hurufnya tak terlalu jelas kelihatan sehingga akan mengganggu pembaca menikmati buku ini. Tapi gangguan salah ketik ataupun cetakan yang tak jelas itu bisa diimbangi dengan beragam tema menarik dari buku ini.
Bacalah buku ini, maka Anda akan paham betapa hidup demikian rawan terpenggal dalam sekejap...
ACEH DUKAKU
Buku: Kumpulan Esei dan Puisi
Para Penulis: Ishak Ngeljaratan, Yahya, Moch Hasyimi Ibrahim, Ahyar Anwar, Rahman Arge, Maya, AM Iqbal Parewangi, Djunaidi M Dahlan, Ahyar Anwar, Lily Yulianti Farid, Aslan Abidin, Mansyur Semma, Sudirman HN, Fauzan Mukrim, Rady A Gani, Ambo Enre Abdullah, Shaifuddin Bahrum, Yudistira Sukatanya, Muhary Wahyu Nurba, Akhmad K Syamsuddin, Anwar Jimpe Rahman, M Aan Mansyur, Ilham Halimsyah, Rachmad Baro, Hendragunawan S Thayf, M Anis Kaba
Editor: Muhary Wahyu Nurba
Pemeriksa Aksara: M Aan Mansyur
Cetakan Pertama: Februari 2005
Penerbit: Gora Pustaka Indonesia
Jumlah Halaman: 150 halaman
No comments:
Post a Comment