Ada suara tak asing lagi di ruang tamu kami kemarin pagi. Si empunya suara beraksen Jawa itu bernama Rijem. Perempuan berusia sekitar 49 tahun ini adalah langganan jamu saya dan kakak. Sambil menikmati jamunya, tak jarang kami bertukar cerita.
Tutur Mbak Rijem tentang alur hidupnya pernah membuat saya terpikat menjadikannya sebentuk tulisan. "Makassar adalah hidup Rijem" adalah kalimat alif tulisan tentangnya. Mbak Rijem bersuku Jawa tapi usianya sebagian besar dihabiskan di Makassar untuk mencari nafkah.
Lontaran kalimat dari seorang pria berkumis klimis baru-baru ini membuat keresahan sempat terbesit dalam hati Mbak Rijem—dan saya yakin pula ada getar gelisah yang sama pada lubuk hati suami dan anak-anaknya. “Belum saatnya orang Sulsel menjadi pemimpin bangsa Indonesia,” demikian pernyataan si kumis klimis.
Pria itu adalah Alfian Mallarangeng, seorang politikus asal suku Bugis yang kini memegang posisi sebagai juru bicara Presiden Republik Indonesia. Di tengah riuh jelang pemilihan presiden, lontaran pernyataannya tiba-tiba menyolek perkara etnis yang telah laten bersangkar dalam tubuh bangsa ini. Sejumlah talk show digelar beberapa stasiun televisi. Tapi semuanya seolah menyuguhkan skenario yang berulang: ada suara ketersinggungan beberapa orang Sulsel dan wakil lawan politik atasan Alfian serta sikap si kumis klimis ini sendiri yang teguh beranggapan bahwa tak ada yang salah dengan pernyataannya itu.
Di salah satu talk show Alfian ditanya tentang keberaniannya untuk pulang ke kampung halamannya. Dan dengan enteng dia pun menjawab kalau di Sulsel juga terdapat massa Demokrat—partai yang mengayominya. Bening terlihat bahwa pria yang pernah bersarang di tubuh Partai Demokrasi Kebangsaan ini melihat efek pernyataannya ke warga Sulsel dengan bingkai peta politik saja. Tak ada kekhawatiran baginya mengenai kemungkinan “hujan batu” di kampung sendiri setelah terjadi sekian pergeseran impresi terhadap sosoknya pascapernyataan itu.
Namun di luar pentas elit politik dan sofa empuk talk show, Alfian mungkin tak sadar ada jantung yang berdetak tak keruan mendengar pernyataannya menjadi buah bibir di berbagai penjuru Sulsel. Mereka adalah orang rantau yang menggantungkan hidupnya di daerah ini. Detak tak keruan itu pula yang sempat dirasakan Mbak Rijem.
Resah Mbak Rijem adalah ‘resah ruang’ karena baginya Makassar adalah ruang di mana ia mendapat kesempatan untuk bertahan hidup. Meneguk jamu racikan Mbak Rijem telah menjadi semacam agenda rutin bagi langganannya di pagi hari. Langganan yang sebagian besar berasal dari ragam etnis di Sulsel. Puluhan tahun adalah investasi waktu yang tak sedikit untuk membuatnya dapat lebur dan diterima oleh tetangga dan langganannya. Bahkan anak-anaknya telah berlidah Jawa pasif karena adaptasi mereka dengan logat Makassar sedari kecil. Namun tentu, sekat etnis masih terlihat samar membayang.
Pernyataan Alfian telah mencipta histeria di jiwa massa Sulsel. Risiko terkecil adalah kecaman terhadap dirinya secara personal atau sebagai bagian sebuah partai. Namun risiko berskala personal ini lantas bisa saja merambat ke skala yang lebih luas lagi. Skala lebih luas itu akan melibatkan mereka yang beridentitas selain etnis di Sulsel.
Razia etnis adalah tindak yang mengkhawatirkan Mbak Rijem. Jika ini terjadi, maka posisinya akan terancam dari ruang yang selama ini dikitarinya. Dan tak menutup kemungkinan hal ini kemudian berdampak sebaliknya pada orang Sulsel yang berdomisili di provinsi lain.
Pagi itu, sambil menikmati sarapan, kami menyimak Mbak Rijem. Ibarat mengucap mantra, Mbak Rijem berulang-ulang mengucapkan dua kalimat sebagai responsnya terhadap pernyataan si kumis klimis, “Beruntung sekali Alfian itu bukan orang Jawa. Kalau orang Jawa, mungkin saya sudah diusir dari Makassar!”
Makassar, 06.Juli.09
Profil Mbak Rijem bisa dibaca di sini.
No comments:
Post a Comment