Saturday, November 5, 2011

Pesan Damai dari Henge'do

“KALAU di Kupang, jangan mengaku orang Makassar”. Pësan singkat itu dikirim seorang kawan sehari sebelum saya ke Kupang, 25 September lalu. Saya menduga, pesan itu dilatari berita pembunuhan empat warga di Makassar, 14 September kemarin, di salah satu pusat perbelanjaan.


Saya membacanya, tanpa histeria.


ASAP rokok seorang lelaki segera menampar hidung begitu saya masuk ke taksinya. Selepas dari gerbang bandara El Tari, ia bertanya saya datang dari daerah mana.

“Makassar,” jawabku singkat.


Mendengar jawabanku, ia bertanya lagi apakah situasi di Makassar aman-aman saja. Seketika, saya teringat pesan singkat kawanku itu. Tapi saya memilih tetap tenang dan menjawab bahwa setidaknya di daerah sekitar tempat tinggalku aman.


Ia lanjut bercerita tentang pembunuhan keempat warga itu. Lantas, entah mendapat sinyal ketakutan dari mana, pengemudi itu tiba-tiba memberi pengumuman dalam taksinya yang gelap dan berbau asap rokok: Kupang aman-aman saja!


Saya sendiri tak menganggap pembunuhan itu harus mengait-ngaitkan sentimen etnis. Juga tak sepakat dengan langkah Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT), Frans Lebu Raya, yang meminta maaf segala, seakan-akan ingin menegaskan bahwa ini memang persoalan etnis. Saya dan pengemudi taksi ini punya rona relasi tersendiri, tak ada kaitan dengan tindak kriminal itu.


Saya mengalihkan topik pembicaraan ke masalah cuaca, musim, dan perjalanan hidupnya. Ia bercerita panjang lebar. Saya mendengar, melempar pandangan ke luar taksi, dan bergumam: “Ah, begitu banyak misteri di luar sana.”


Taksi kemudian berhenti di depan salah satu penginapan yang terletak di kawasan Oebobo. Dua panitia "Pelatihan Jurnalisme Warga" yang menyambut saya di bandara, tiba lebih dulu.


“Obrigado,” ucapku ke pengemudi itu.


Mendengar saya mengucapkan kata 'obrigado', seorang panitia menegur. "Jika ingin ucapkan "terima kasih" di Kupang, pakai "terima kasih" saja," katanya.


Saya jadi malu karena tak pernah sebelumnya mengecek pada konteks daerah mana kata ini digunakan. Belakangan, saya baru tahu kalau kata ini berasal dari bahasa Tetun yang mendapat pengaruh Portugis. Di Kupang, kata yang berarti "terima kasih" ini sesekali digunakan oleh warga yang pernah bersentuhan dengan warga Timor Leste sejak negeri ini belum independen.


Usai menyerahkan uang kembalian ongkos mengantarku, pengemudi taksi itu segera memegang kemudi dan menginjak pedal gas. Adi, pengemudi itu, berlalu. Saya lupa menanyakan nama lengkapnya.


TIMOR Leste memisahkan diri dari Indonesia Agustus 1999 silam. Langkah ini melahirkan sekitar 288.000 manusia perbatasan.

Sebelum terbang ke Kupang, saya membaca beberapa berita tentang manusia tapal batas di NTT. Di media online, saya dapatkan beberapa berita konflik antara pengungsi dengan warga lokal. Konflik juga terjadi di kalangan warga lokal dan eks-pengungsi, seperti saling lempar batu yang terjadi di Oebelo, Kupang Tengah, 20 Desember 2009 lalu. Kejadian yang dimuat oleh detikNews (detiknews.com) itu menyebabkan dua orang kritis dan belasan luka-luka.


Saling lempar batu itu berawal dari konflik dua orang warga. Ketika terjadi eskalasi konflik, media langsung memetakannya sebagai konflik antara 'eks pengungsi' dan 'warga lokal'.


Di kolom komentar sebuah blog yang me-relay berita itu, tiga warga mengecam para pengungsi. Mereka mengatakan bahwa para pengungsi seharusnya diusir saja karena mereka adalah pengkhianat, dicap brutal, dan lemah dari segi sumber daya manusia. Nasionalisme yang sanggup mencecerkan darah manusia terbaca kental di situ.


Tapi, sebegitu mencekamkah suasana hubungan mereka?


TAMPILAN foto pakaian-pakaian dalam yang dijemur di kaktus memicu tawa peserta pelatihan. Foto itu dikemas dalam tayangan liputan kolektif warga berjudul "Berkibarlah Jemuranku..." di Panyingkul! (www.panyingkul.com), 9 Agustus 2007.


Dalam liputan yang sama, seorang warga berbagi kisah jemuran dari Yerussalem. Di tengah konflik yang masih berkecamuk di Tepi Barat dan Jalur Gaza, Frank Holt--salah seorang keluarga dari pewarta warga Sammy Lee--mengabadikan tali jemuran yang dibagi bersama antar warga biasa dari dua identitas yang saling berebut wilayah kekuasaan.


Kisah ini jadi bahan refleksi bagi peserta untuk melihat kembali relasi mereka dengan warga pengungsi. Tak sedikit peserta yang mengaku punya teman pengungsi dan hubungan mereka baik-baik saja. Jauh dari kekeruhan peristiwa-peristiwa yang diangkat oleh media umum.

Seperti Meli Hadjo yang berasal dari suku Sabu. Ia mendampingi anak-anak pengungsi di daerah Noelbaki, sekira 45 menit dari kota Kupang, arah Timur.


"Biasanya orang-orang bilang anak-anak pengungsi kasar-kasar dan susah dengar orang. Memang iya, karena setiap hari mereka kena pukul dari orang tua atau kakak di rumah kalau melakukan kesalahan. Saat pendampingan, mereka juga tidak segan-segan untuk membentak dan menjitak teman-teman mereka, sengaja ataupun tidak, di depan kami. Mereka nakal dan liar, tapi mereka jujur, polos, sederhana," tutur Meli yang telah melakukan pendampingan sejak Mei lalu.


Jan Windy, anggota Komunitas Akar Rumput (KoAR) yang juga warga lokal Kupang, mengatakan bahwa di komunitasnya sendiri ada seorang eks-pengungsi bernama Edy Nahak. Pasca jajak pendapat, Edy dan keluarganya ikut mengungsi. Status 'eks-pengungsi' dengan cepat diperoleh Edy karena ayahnya adalah seorang pegawai negeri. Menurut Jan, Edy orang yang pandai bergaul. Dengan begitu, ia mudah akrab dengan kawan-kawan di KoAR. Edy pun mampu diajak bekerja sama dengan baik. Saat ini Edy mengorganisir para pemuda di wilayah Penfui, Kupang Tengah.


Seorang pengungsi di kamp pengungsian Noelbaki, Theofilus Guteres, berkisah pula ke saya. Guteres yang rindu balik ke kampung halamannya Dili, Timor Leste, mengaku berhubungan baik dengan teman-temannya dari warga lokal. Bersama mereka, ia biasa bermain bola atau belajar mengoperasikan komputer. Bahkan kini, ada unsur romansa dalam relasinya dengan seorang gadis lokal.


SELEMBAR scarf berwarna hitam diberikan kepadaku. "Itu dari Sabu," kata Meli, memberi info mengenai scarf yang ia beri itu. Asal scarf atau berbagai jenis produk tenun ikat yang lain dapat dikenali dari motifnya. Mince, pedagang kain tenun ikat di sekitar penginapanku memberi tahu, bahwa orang-orang Sabu memilih motif flora.


"Itu karena tradisi nenek moyang mereka adalah bertani," jelas Mince.


Tak hanya motif tenun Sabu yang diperkenalkan kepada saya. Sebelum berangkat ke bandara, Meli memberi ciuman ala Sabunis. Ciuman ini ternyata tak hanya dilakukan oleh Sabunis tapi sudah menjadi semacam tradisi berbagai etnis di Kupang yang disuguhkan kepada pengunjung. Ciuman ini juga mirip ciuman tradisi yang dilakukan oleh orang Maori di New Zealand dan Inuit di Alaska.


Sabunis menamainya Henge'do. Caranya dengan menggosok-gosokkan hidung satu sama lain. Henge'do menyimbolkan perdamaian. Konon, orang akan terkena kutukan dan berumur pendek jika mengungkit-ungkit lagi masalah yang telah didamaikan dengan Henge'do.


Setiba di bandara El Tari, saya bersalaman dengan beberapa peserta yang mengantar. Salah satunya Weltji Yastri Doek, dari Rote. Setelah bersalaman, ia langsung meraih hidungku.


Di tengah kebencian karena pembayangan terbatas terus disebar di sana-sini, dalam sekejap, sebuah pesan damai ia selipkan padaku dengan Henge'do.

No comments: