Monday, April 11, 2011

Jyllands-Posten, Muhammad, dan Ayah Saya

Waktu kecil almarhum ayah saya beberapa kali bercerita bahwa di dunia ini tak seorang pun yang mampu melukis wajah Nabi Muhammad saw. Meski pun ada yang berusaha melukisnya, pasti ada saja halangan yang didapatkan oleh orang tersebut.


Ayah saya meriwayatkan seorang pelukis yang hendak melukis wajah sang nabi. Pelukis itu coba memainkan imajinya dengan membaca buku yang mendeskripsikan wajah sang nabi.


Namun belum kelar wajah itu terlukis, tangan si pelukis patah, dan akhirnya ia tak dapat menyelesaikan karyanya yang mungkin ketenarannya bisa setara dengan karikatur-karikatur yang dimuat oleh Jyllands-Posten (termasuk beberapa yang bermuatan politis) bahkan lebih.

Saya yakin apa yang diceritakan ayah saya itu bukan sebuah hal yang ia karang sendiri, karena di rumah kami memang terdapat beberapa referensi yang membahas tentang Nabi Muhammad. Naif juga kiranya jika ayah saya berbohong kepada anaknya sendiri soal orang nomor satu berpengaruh di dunia versi Michael H Hart itu. Hanya saja, jika ditanya asal cerita ini, maaf, dulu saya lupa menanyakan sumbernya.

Ayah saya juga pernah bercerita bahwa jika seseorang mimpi bertemu dengan Nabi Muhammad, maka ia patutlah bergembira karena tak banyak orang yang dapat melihat wajah rasul terakhir itu yang sebenarnya (kecuali orang-orang yang melihat beliau saat masih hidup). Menurut ayah saya (sekali lagi saya tak tahu sumbernya di mana, tapi mungkin dari buku karangan Haekal yang belum sempat saya tamatkan), Tuhan dapat ditirukan oleh setan tapi wajah Muhammad sangatlah mustahil.

Begitu sucikah manusia yang satu ini, hingga Tuhan pun tak mengizinkan wajahnya terlukis oleh tangan manusia biasa bahkan setan pun dilarang untuk menirunya? Pertanyaan itulah yang sering memenuhi benak saya jika berbicara tentang Nabi Muhammad. Sosok visual Nabi Muhammad memang selalu misterius bagi saya waktu itu. Pun, deskripsi yang diberikan oleh Haekal dalam bukunya “Muhammad”, masih memberi gambaran samar dalam benak saya tentang bagaimana sosok Nabi Muhammad. Sehingga saya berpikir, satu-satunya jalan melihat sosok utuh Nabi Muhammad dalam keadaan masih hidup adalah dengan memimpikannya.

Pernah suatu waktu kakak saya menyampaikan kepada kami sekeluarga perihal mimpinya. Mimpi itu tak lain adalah bertemu dengan sosok Nabi Muhammad. Dengan senang hati, pun saya mendengar cerita kakak saya itu. Mimpi yang saya pikir sangat jarang dialami oleh orang-orang.

Dan kemisteriusan sosok Nabi Muhammad pun masih menjadi tanda tanya besar dalam benak saya. Bagaimana kira-kira bentuk wajah, hidung, bibir, alis, dan mata berpupil hitam beliau yang konon katanya bisa meneduhkan tiap jiwa yang menatapnya. Hingga berharap suatu waktu sosok yang diagungkan dalam Islam itu hadir dalam bunga tidur saya.

Namun, beberapa pekan lalu lalu saya membaca di salah satu harian lokal di Makassar tentang pemuatan 12 karikatur Nabi Muhammad oleh Jyllands-Posten-salah satu media yang terbit di Denmark-pada terbitan khusus edisi Minggu 30 September 2005 lalu.

Saya kaget bukan kepalang. Tiba-tiba saya merasa menemukan antitesa dari cerita-cerita ayah saya dulu tentang Nabi Muhammad. Entah harus percaya yang mana, ayah saya atau koran itu. Betul-betul tak percaya, tapi benar ini kenyataan bukan mimpi. Dicubit seratus kali pun pasti sakitnya akan terasa.

Dari suplemen Harian Republika edisi Jumat 17 Februari, saya mendapatkan latar belakang dimuatnya karikatur-karikatur tersebut. Dalam suplemen itu dikatakan, awalnya karikatur-karikatur itu hanya dibutuhkan oleh seorang pengarang Denmark, Kare Bluitgen, yang ingin menulis sebuah buku berjudul “Koran and The Prophet’s Life”. Karena segmen pembacanya adalah anak-anak, maka Bluitgen berpikir kalau tulisannya itu dapat dicerna dengan mudah jika dalam bukunya ia hadirkan visual Nabi Muhammad.

Keinginan Bluitgen pun terpenuhi kala Jyllands-Posten menyayembarakan pembuatan karikatur Nabi Muhammad. Dari hasil sayembara itu Jyllands-Posten berhasil mengumpulkan 40 ilustrator. Dan akhirnya ada 12 karikatur yang dianggap terbaik dan layak terbit pada koran tersebut. Keberanian Jyllands-Posten memuat karikatur-karikatur tersebut, bagi mereka, semata-mata wujud kebebasan berekspresi .


Hari-hari setelah itu pun saya masih membaca kelanjutan berita tersebut yang mengambil angle reaksi umat muslim di beberapa negara. Bahkan saya menyaksikan sendiri layar CNN-stasiun TV yang katanya punya jaringan terkuat di seluruh negara-dihiasi oleh liputan demonstrasi umat Islam di berbagai belahan dunia menanggapi pemuatan karya ilustrator asal Denmark, Rasmus Sand Hoyer dan ilustrator yang lain.

Ah! Saya bingung. Sepertinya memang cerita-cerita ayah saya tentang kemisteriusan sosok Muhammad telah patah. Gambaran visual tentang sosok itu kini telah tersebar luas ke seluruh dunia.

Visual sosok Muhammad kini seakan-akan tak lagi misterius di mata saya―walau mungkin visualisasi itu tak sesuai sosok aslinya. Meski saya tak sepakat dengan pribadi yang tergambar dari karikatur-karikatur yang dimuat itu. Karena saya yakin subjektivitas serta isu suku, agama, ras, dan juga kepentingan politik ber’main’ dalam pembuatan karikatur tersebut.

Tak hanya tentang kemisteriusan visual sosok Muhammad yang buyar dalam benak saya. Mungkin beberapa di antara Anda pernah menonton film “The Big Fish”. Film garapan sutradara Tim Burton ini bercerita tentang hubungan seorang ayah dan anak lelakinya.

Ceritanya, sang ayah Edward Bloom (Ewan McGregor) sering bercerita tentang pengalaman-pengalaman masa mudanya kepada orang lain dan anaknya sendiri William (Billy Crudup) sedari kecil hingga besar. Namun, sebagian besar hal dalam cerita itu dianggap oleh sang anak tak rasional. Hingga ketika Will telah dewasa, ia menganggap cerita ayahnya itu banyak di’bumbui’ imajinasi sang ayah sendiri.

Sama halnya dengan Will, kini dalam benak, cerita-cerita ayah saya tentang beberapa hal di dunia ini seakan-akan harus saya scan satu persatu, mencari-cari, andai saja masih ada yang tak berlaku lagi pada realita saat ini. Bedanya adalah tokoh Will dalam cerita itu masih bisa bertanya bahkan berdebat dengan ayahnya sendiri hingga keduanya menemukan satu titik terang. Tapi sayang, saya tak dapat melakukan hal itu lagi.


Makassar, 27 Februari 2006


No comments: